Wisata di jalur Pansela tak terhenti di keindahan alam. Saat memasuki Cilacap pada 29 Maret, kami langsung ke Benteng Pendem. Situs bersejarah peninggalan Belanda.
Dahulu, ini adalah tempat pertahanan kolonial yang memiliki 100 lebih benteng. Benteng-benteng itu tadinya terkubur oleh tanah alias 'mendem'.
Benteng Pendem hari ini terlihat usang. Tapi justru menambah nuansa klasik destinasi wisata yang satu ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Benteng Pendem kami bergeser ke Gunung Selok dan Srandil. Kedua tempat ini biasanya dijadikan tujuan wisata spiritual.
Pengunjungnya beragam, mulai dari warga biasa sampai pejabat. Bahkan, Presiden kedua Indonesia, Soeharto pun disebut-sebut pernah ke dua gunung itu.
Di Gunung Selok, ada 40 gua yang dianggap mistis. Sementara di Srandil ada tempat bertapa dan berdoa untuk berbagai umat. Keduanya juga dijadikan tempat berziarah.
Setelah bermalam di Cilacap, kami pun bertolak ke Kebumen. Ada beberapa list pantai yang ingin kami datangi. Salah Satunya Pantai Watu Bale.
Sampai di sana, suasananya terasa tenang. Pantai ini masih sepi pengunjung. Di samping kiri dan kanan pantai berdiri bukit yang indah.
Bukit yang ada di sebelah kiri bernama bukit Titanic. Bukit itu sempat viral di media sosial lantaran bagus dijadikan spot foto.
Di Pantai Watu Bale kami bertemu dengan beberapa warga lokal. Mereka menyarankan kami untuk ke Pantai Menganti, pantai yang sebelumnya tidak masuk list kami.
"Bagus banget," kata mereka.
Kami pun diantarkan ke sana oleh salah satu dari warga lokal itu. Akses menuju pantai ini memang cukup rumit, jalanannya berkelok-kelok, dan membutuhkan kurang lebih satu jam menggunakan mobil.
Namun semua kerumitan itu akan terbayar tuntas ketika sampai.
Berjalan-jalan di pasir pantainya yang putih, melihat hamparan air lautnya yang biru dan mendengarkan deruan ombak yang tenang. Pantai Menganti bahkan disebut sebut sebagai pantai terindah di Jawa Tengah.
Di pantai ini ada beberapa spot foto yang juga instagramable seperti, jembatan merah dan Tanjung Karangbata.
Selain spot-spot instagramable itu, di Pantai Menganti juga ada camping ground dan surfing spot. Rasanya kami tak mau pulang lebih cepat.
Pada hari kelima, 30 Maret, kami tiba di titik akhir, yaitu Yogyakarta. Saat itu kami tiba pada malam hari dan disambut oleh gerimis.
Kami memutuskan untuk langsung beristirahat di penginapan. Lokasinya tak jauh dari Pantai Parangtritis.
Besoknya, kami berjalan kaki sekitar empat menit ke Pantai Parangtritis. Jam masih menunjukkan pukul 05.45 WIB, namun pantai ini sudah ramai oleh pengunjung.
Siangnya kami pun bergeser ke Gumuk Pasir, menjajal offroad dengan Jip Jimmy tahun 80-an.
Dengan jip itu kami berkeliling naik turun di gundukan pasir. Ada empat titik pemberhentian di track Pasir Gumuk yang akan berakhir di Taman Eden. Titik ini merupakan spot yang paling rimbun dengan pepohonan tinggi.
Dari situ, lanjut menyusuri deretan pantai yang satu garis dengan Pantai Parangtritis. Mulai dari Pantai Cemoro Sewu, Widuri, Parangkusumo, Parangtritis, sampai ke Pantai Karang.
Hamparan air membuat kami lupa akan teriknya matahari. Setelah menyusuri lima pantai itu, kami kembali ke titik awal di Gumuk Pasir.
Dari Gumuk Pasir kami menyebrang ke Pantai Cemoro Sewu. Di sana kami duduk duduk di bawah pohon cemara sambil menikmati pantai terakhir yang menjadi bagian ekspedisi kami.
Sebelum matahari turun, dengan berat hati kami meninggalkan pantai itu.
Sekitar pukul 16.00 WIB perut kami sedikit keroncongan. Akhirnya kami pergi mencari tempat makan dahulu sebelum meninggalkan Yogyakarta. Kami pergi mencari Sate Klathak, sate khas Yogyakarta.
Ada banyak tempat Sate Klathat, tapi kami memutuskan makan di Sate Klathak Pak Pong pusat. Lokasinya berada di Jalan Sultan Agung No.18, Jejeran II, Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ekspedisi mudik ini kami tutup dengan sate gurih dengan kuah gulai.
(yla/wis)