Anggapan itu semakin santer tatkala Jakarta dijadikan sebagai ibu kota. Tak hanya orang yang hendak mendulang uang, para pelajar pun datang ke Jakarta untuk menuntut ilmu.
"Contoh paling sederhananya pelajar-pelajar itu, kan, datang dari mana-mana dan mendirikan organisasi jong. Kan, itu urban, tuh. Kecenderungan itu masih [terjadi] ketika Jakarta dipilih menjadi ibu kota," ujar dia.
Orang-orang yang datang ke Jakarta pun kian bertambah. Momen lebaran diakui Rizal ikut menyumbang terhadap meningkatkan perpindahan masyarakat ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat Soeharto menjabat sebagai presiden, praktik desentralisasi sempat dicoba. Namun, menurut Rizal, praktik itu tak cukup berhasil.
"Sejak Soeharto jatuh, hampir seperempat abad kurang berjalan, kurang berhasil. Kalau berhasil buat apa orang datang ke kota?" kata dia.
"Itu yang menyebabkan ada dana desa, kan, dengan bayangan buat membangun. Tapi kita tidak melihat hasilnya, dan itu tidak semudah membalik telapak tangan," imbuhnya.
Bahkan, saat Ali Sadikin juga menjabat sebagai Gubernur Jakarta, orang orang yang merantau semakin deras. Ali sampai membuat imbauan agar orang-orang menahan diri untuk tak ke Jakarta.
"Sampai Bang Ali bilang Jakarta ditutup menjadi kota karena urbanisasi. Setiap Lebaran dan sebelum Lebaran ada antisipasi jangan membawa warga dari kampung," kata dia.
"Jangan berpikir Jakarta semuanya serba mudah. Bahkan ada istilah ibu kota lebih kejam dari ibu tiri buat nakut nakutin," imbuhnya.
Menurut Rizal, sepanjang pembangunan masih bersifat sentralistik, maka jangan heran jika Jakarta terus dianggap sebagai kota paling maju.
"Bukan salah orang orang yang merantau, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah masih sentralistik. Masih berpusat di kota kota," ucapnya.
(yla/asr)