Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengungkap penyebab berbagai kasus pelanggaran HAM tak kunjung usai adalah tidak adanya komitmen dari berbagai pihak.
"Pertama faktornya itu tidak ada komitmen untuk menegakkan hukum terhadap kasus-kasus itu. Undang-undang untuk menegakkan hukum itu ada, tapi komitmen untuk menegakkan itu sampai hari ini tidak ada," jelas Amiruddin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (16/5).
Amiruddin mengatakan undang-undang sudah jelas menegaskan ada empat pihak yang harus berkomitmen dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Pertama, Komnas HAM yang berkewajiban melakukan penyelidikan. Kedua, Jaksa Agung yang diberi wewenang untuk penyidikan.
Kemudian pihak ketiga yang harus berkomitmen adalah Presiden. Lalu keempat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga berkewajiban membuat Undang-undang.
Amiruddin menerangkan komisioner Komnas HAM telah bertemu Presiden Jokowi pada 10 Desember 2021. Para komisioner menyampaikan perlu langkah atau kebijakan untuk mempercepat proses penyelesaian pelanggaran HAM.
"Presiden waktu itu janji 'Iya, akan kita buat'. Nah, sudah lima bulan sampai hari ini, enggak ada kabar beritanya, tuh," ucap dia.
Komnas HAM juga menanyakan kelanjutan janji Jokowi itu kepada Menko Polhukam Mahfud MD. Namun, sejauh ini baru janji saja yang didapat.
Empat bulan lalu, Mahfud menyatakan agar pemerintah tidak didesak lagi untuk menyelesaikan sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000.
Mahfud menyebut pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2000 bukan wewenang pemerintah, melainkan DPR. Hal itu mengacu kepada UU Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 tentang Pengadilan HAM.
"Penyelesaiannya begini, yang terjadi sebelum keluarnya UU Nomor 26/2000 itu sekarang menjadi areanya DPR. Jadi jangan lagi mendesak desak pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM sebelum 2000," kata Mahfud dalam diskusi daring, Kamis (27/1).
Mahfud mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 itu harus disampaikan Komnas Ham kepada DPR. Selanjutnya, DPR bisa memutuskan agar Presiden membentuk pengadilan Ad-Hoc.
"Itu yang harus dilakukan kalau mau melakukan pengadilan pelanggaran HAM di bawah tahun 2000," kata mantan hakim konstitusi itu.
Lihat Juga : |
Selain itu, ia menerangkan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sering tak sinkron dalam proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Baik dari bukti yang dikumpulkan, maupun cara pembuktian bukti tersebut.
Mahfud menerangkan Kejagung kerap tak sepakat dengan bukti-bukti dari hasil penyelidikan Komnas HAM. Oleh sebab itu, kasus-kasus pelanggaran HAM berat mandek dan sulit masuk ke tahap penyidikan.
"Jadi di situ sering macet," kata dia.
Meski begitu, Mahfud mengklaim pihaknya akan terus mencari solusi alternatif agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat dituntaskan.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tioria Pretty yang menilai pemerintah bukannya tidak tahu cara menyelesaikan pelanggaran HAM.
"Sebenarnya semua masukan solusi, bahan, itu sudah ada semua di pemerintah. Jadi pada dasarnya pemerintah bukannya tidak tahu harus melakukan apa, tapi tidak mau saja," kata Pretty saat dihubungi.
Mulai dari alasan bukti tidak lengkap, pengadilan ad hoc belum dibentuk, sudah ada keputusan DPR, dan sebagainya. Semua alasan tersebut, tuding Pretty, berada di bawah satu judul besar 'tidak ada kemauan'.
Saat ini, sambungnya, upaya strategis yang dilakukan kelompok sipil adalah mendorong kasus ini adalah secara horizontal ke sesama warga negara. Dengan makin banyak pihak yang bersuara mereka berharap pemerintah bakal mendengarnya.
![]() |
Sumarsih mengatakan negara belum menunjukkan niat kuat untuk menyelesaikan pelbagai kasus pelanggaran HAM berat. Padahal masalah perlindungan, penegakan hingga pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara yang diatur konstitusi.
Ia justru mengendus fenomena komodifikasi HAM untuk kepentingan politik tiap pemilihan umum (Pemilu). Para elite berlomba menjanjikan penegakan dan pemenuhan HAM namun janji menguap setelah terbentuk pemerintahan baru.