Kamisan Sumarsih, Belasan Tahun Melahap Janji-janji Negara

CNN Indonesia
Sabtu, 21 Mei 2022 16:10 WIB
Sudah 15 tahun Sumarsih teguh menghadiri aksi Kamisan di seberang Istana, menuntut tanggung jawab negara atas anaknya yang tewas pada periode reformasi.
Ilustrasi. Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi Kamisan ke-605 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sudah 24 tahun berlalu sejak Presiden kedua RI Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai penguasa pada 21 Mei 1998. Selama itu pula tuntutan penuntasan kasus HAM berat pada peristiwa reformasi 1998 terus bergulir.

Sudah 15 tahun, Maria Sumarsih tak pernah absen saban Kamis--kemudian dikenal dengan Aksi Kamisan-- menuntut negara menuntaskan kasus HAM berat yang menewaskan putranya, Bernadinus Realino Norma Irawan (Wawan) pada 1998 silam.

Tak sendirian, Sumarsih juga didampingi keluarga korban kasus HAM berat lain hingga aktivis dan simpatisan. Aksi yang semula digelar di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, belakangan mulai menjalar ke sejumlah daerah.

Tuntutan mereka sama, mendesak negara menuntaskan kasus HAM berat dan menyeret para pelaku dan aktor intelektualnya ke pengadilan. Hingga pekan ini, sudah 728 Kamis setia dilalui Sumarsih dkk di seberang istana kepresidenan.

Dalam surat untuk Presiden Jokowi, Sumarsih bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menagih komitmen negara dalam penuntasan tragedi yang telah lalu.

"Harapan saya agar Presiden Jokowi segera memberi tugas kepada Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan kasus Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti. Agar segera ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung ke tingkat penyidikan," terang Sumarsih saat dihubungi Minggu (15/5) malam.

Jika terbukti pelanggaran HAM berat benar terjadi, kata Sumarsih, Presiden Jokowi hendaknya juga membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Para korban tragedi tersebut, tegasnya, adalah pejuang reformasi dan demokrasi.

Sumarsih berharap waktu yang tersisa dalam pemerintahan Presiden Jokowi ini dapat digunakan untuk menepati janji Nawacita yang ia usung pada pemilu 2014 lalu.

Tuntutan itu belum menemui titik terang setelah 24 tahun reformasi bergulir. Yang terjadi justru mulai menjauh dari semangat penegakan hukum.

Saat mengundang mahasiswa Universitas Trisakti pada 18 Mei 2022, Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mengatakan kasus HAM berat yang terjadi sebelum UU 26/2000 sebaiknya diselesaikan secara non-yudisial atau tidak melalui mekanisme peradilan.

Para mahasiswa Trisakti mementahkan pernyataan Moeldoko. Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Fauzan Raisal Misrawi menegaskan pihaknya tetap ingin kasus pelanggaran HAM, termasuk Tragedi 1998 itudiselesaikan lewat pengadilan

"Yang kami inginkan adalah jalur yudisial di sini, bukan non-yudisial untuk menuntaskan pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan II ini," ujar Fauzan saat dihubungi, Rabu (18/5).

Salah satu relawan Kamisan, Vebrina Monicha juga menyinggung Nawacita. Sejauh ini, dia menganggap itu janji belaka.

"Tapi memang kayak waktu awal pertama kali Jokowi sebelum jadi Presiden, di salah satu Nawacitanya kan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tapi lagi-lagi, janji. Sampai sekarang enggak ada, minimal langkah kecil aja enggak ada," kata Vebrina saat ditemui di seberang Istana Merdeka usai aksi Kamisan ke-727, Kamis (12/5).

Aksi Kamisan ke-272 diiringi hujan, belasan payung hitam disediakan untuk massa aksiPayung-payung hitam itu menjadi salah satu simbol yang kerap dibawa massa saat aksi Kamisan di seberang Istana, Jakarta Pusat, 12 Mei 2022. (CNNIndonesia/Poppy Fadhilah)

Mantan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan Azas Tigor Nainggolan, menilai negara lupa dan tak mau belajar pada korban kasus HAM berat, terutama 1998. Padahal, kata Tigor, negara ini masih bisa berdiri sampai sekarang karena perjuangan korban saat reformasi 24 tahun silam.

"Kalau Presiden Jokowi bisa jadi presiden sekarang itu karena perjuangan para korban," kata Tigor dalam Aksi Kamisan ke-727 seperti dikutip dari rekaman pada Youtube Jakartanicus.

Tigor menyebut negara juga mempunyai utang kebenaran atas kekerasan yang terjadi pada seluruh korban kekerasan masa lalu.

Demonstrasi besar-besaran terjadi sepanjang September 2019. Kala itu para kelompok demonstran menggunakan slogan Reformasi Dikorupsi sebagai kritik atas kondisi terkini.

Demonstran dari kelompok mahasiswa, buruh, pelajar hingga elemen sipil lainnya. Mereka menilai semangat reformasi kala Soeharto lengser pada 1998 silam telah dikorupsi saat ini.

Aksi yang ikut diramaikan dengan tagar #ReformasiDikorupsi ini muncul saat pemerintah dan DPR gencar merevisi beberapa Undang-undang yang dinilai kontroversial di akhir masa jabatan Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014 hingga 2019.

Massa aksi kembali turun ke jalan dalam jumlah yang sangat besar. Demonstrasi dilakukan di berbagai daerah terutama kota besar. Di Jakarta sendiri aksi berpusat di depan Gedung DPR/MPR.

Korban luka serta jiwa berguguran pada demonstrasi tersebut. Sejumlah jurnalis juga mengalami kekerasan saat meliput.

Sumarsih menyebut kekerasan negara terhadap warganya terus berulang. Namun ia meyakini kematian anaknya, Wawan, dan orang lain yang berjuang untuk perbaikan, tidak akan sia-sia.

"Para mahasiswa yang gugur memperjuangkan reformasi dan demokrasi, dia itu adalah pejuang yang sejati," katanya.


Baca halaman selanjutnya...

Sengkarut Upaya Penuntasan Kasus HAM Berat di Indonesia

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER