Jakarta, CNN Indonesia --
Masa jabatan Gurbernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan habis pada Oktober mendatang. Perbincangan mengenai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur yang akan mengisi kursi DKI 1 hingga gesekan menuju pemilu 2024 semakin panas dibicarakan publik.
Sebanyak tiga nama yang disebut-sebut akan jadi pengganti Anies di antaranya, Kepala Sekretariat Kepresidenan (Kasetpres) Heru Budi Hartono, Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro, dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Marullah Matali.
Nasib politik Ibu Kota setelah ditinggal Anies masih misteri. Tiga nama calon di atas disebut bukan 'orang Anies'. Mereka juga bakal menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya polarisasi warga Jakarta yang masih tajam usai Pilkada DKI 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati memprediksi kondisi politik Jakarta sepeninggal Anies justru akan menunjukkan keseimbangan.
"Kalau dalam pengamatan saya politik DKI usai Anies turun saya pikir akan menunjukkan keseimbangan ya," kata Wasis saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (20/5).
Menurut Wasis, pengaruh kelompok konservatif yang selama ini berada di balik kubu Anies perlahan akan berkurang, seiring mantan Rektor Universitas Paramadina itu tak lagi menjadi gubernur.
Di sisi lain, kelompok nasionalis pluralis, terutama pendukung mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan kembali tampil.
Menurut Wasis, selama ini setelah demonstrasi besar-besaran 212 yang diikuti dengan kemenangan Anies sebagai DKI 1, kelompok pluralis seakan tidak mendapatkan tempat di ruang publik.
"Kelompok-kelompok konservatif yang berada di balik kubu Anies itu juga lambat laun pengaruhnya mengendur seiring Anies tidak lagi menjabat gubernur DKI," tutur Wasis.
"Jadi saya pikir akan menemukan keseimbangan pola seperti halnya dulu Anies sebelum menjabat sebagai gubernur," imbuhnya.
Meski kedua kubu dalam kondisi seimbang, kata Wasis, gesekan tidak akan terjadi di ruang publik. Ketegangan hanya akan terjadi di media sosial dan daerah tertentu yang memang menjadi basis pendukung Anies.
Wasis belum bisa menyebut apakah masyarakat akan terpolarisasi. Menurutnya, persoalan ini menjadi salah satu bentuk ujian bagi konsistensi popularitas Anies yang dianggap sebagai simbol bagi kalangan pemilih religius. Popularitas Anies akan diuji saat ia tidak lagi menjabat Gubernur DKI Jakarta.
"Karena selama ini yang kita lihat dan amati polarisasi itu muncul ketika sosok yang didukung itu adalah pejabat publik," tuturnya.
Sementara itu, Wasis melihat pemilihan nama pengganti Anies sebagai kontestasi politik. Anies diduga menginginkan Plt nya merupakan sosok yang mampu mempopulerkan namanya sebagai penunjang menuju panggung politik nasional.
Sebaliknya, kubu pemerintah pusat memandang Jakarta sebagai daerah yang strategis. Mereka tidak menginginkan Jakarta menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah pusat.
"Jangan sampai Jakarta jadi simbol perlawanan, resistensi terhadap koalisi nasional," kata Wasis.
Wasis menyebut pemilihan Plt Gubernur DKI Jakarta akan menjadi pakem bagi penunjukan pengganti pejabat daerah lainnya. Pemilihan latar belakang Plt seperti militer, sipil, atau birokrat akan dipertimbangkan untuk mengantisipasi gejolak politik.
"Jadi apapun yang terjadi di Jakarta nanti akan berimbas ke daerah-daerah lain," tuturnya.
Terlepas dari persaingan itu, Wasis berharap agar sosok pengganti Anies bisa mengembalikan Jakarta ke dalam status quo. Plt Gubernur DKI Jakarta diharapkan tidak terindikasi condong ke dua kubu yang berseberangan.
"Tidak terindikasi kanan atau kiri tapi lebih pada Jakarta sebagai posisi daerah yang netral," ujarnya.
Sementara, terkait dinamika politik tingkat daerah di Jakarta bergantung pada latar belakang pengganti Anies. Fraksi PDI Perjuangan dan PSI yang menjadi oposisi Anies misalnya, akan cenderung moderat jika Jokowi menunjuk Heru sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta.
"Saya pikir level kritikannya kedua partai akan lebih moderat karena latar belakang figur tersebut adalah bagian dari koalisi pemerintahan nasional," kata Wasis.
3 Calon Plt Bukan Orang Anies
Dihubungi secara terpisah, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menyebut tiga nama calon Plt yang beredar bukan orang Anies Baswedan. Menurut Adi, baik Heru, Maruli, maupun Juri merupakan berafiliasi dengan pemerintah pusat.
"Kalau melihat tiga nama ini ya tidak ada orang-orangnya Anies, ada (di) lingkaran Istana semua," kata Adi.
Karena itu, menurut Adi, jika salah satu dari tiga nama itu terpilih menjadi Plt Gubernur DKI Jakarta, Anies tidak lagi memiliki akses terkait Jakarta.
Cengkeraman dan politik Anies perlahan akan berkurang pada Oktober atau lima bulan mendatang. Sebab, di antara tiga orang itu tidak ada satupun yang berafiliasi dengan Anies.
"Artinya ya Anies secara tidak langsung tidak akan punya akses terkait Jakarta karena Plt nya bukan orangnya Anies," ujar Adi.
Kendati demikian, berdasarkan pengamatan Adi hingga saat ini pendukung tidak muncul protes maupun kritik terkait Plt Gubernur DKI. Menurutnya, pendukung Anies cenderung tidak memiliki perhatian terhadap isu semacam ini. Mereka disebut cenderung 'galak' pada isu yang berkaitan dengan agama.
Persoalan kebijakan Plt yang dinilai tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan transparansi penunjukan tiga nama calon Plt yang beredar justru menjadi perhatian kalangan aktivis.
"Pendukung Anies enggak ada protes-protes begitu. Pendukung Anies ini kan ingin jadi panglima agama. Giliran panglima agama galaknya setengah mati," tutur Adi.
Lebih lanjut, Adi menduga pada Pilpres 2024 nanti tidak akan terjadi penajaman polarisasi masyarakat di Jakarta. Ia mencontohkan pertarungan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pemilu 2019 yang membelah masyarakat.
Di Jakarta, daerah yang notabennya mengangkat Anies menjadi DKI 1, Prabowo kalah dari Jokowi.
"Enggak ada penajaman polarisasi di DKI kalau Pilpres. Pemakaman polarisasi ya terjadi pada Pilkada 2024 saja," tuturnya.
Menurut Adi, polarisasi bisa dihindari selama calon kepala daerah tidak menyinggung agama tertentu dan menggunakan agama untuk memobilisasi dukungan.
Pada Pilkada DKI Jakarta kemarin, kata Adi, polarisasi terjadi karena Ahok menyinggung surah Alquran, Al-Maidah. Ahok dinilai tidak memiliki proporsi membicarakan ayat tersebut.
Hal ini berbeda dengan daerah lain yang menggunakan isu agama seperti kedekatan calon dengan masyayikh dan ulama. Masyarakat setempat tidak terpolarisasi karena tidak menyinggung.
"Di Jakarta beda, ada Ahok, bukan Islam, dan menghina Al-Maidah. Kan begitu konteksnya, ramai lah itu," ujar Adi.
Untuk menghindari polarisasi masyarakat, Adi menyarankan calon kepala daerah tidak genit menggunakan isu agama. Ia juga mewanti-wanti calon pemimpin menghindari mengkritik agama lain yang tidak proporsional seperti yang terjadi pada Ahok.
"Kuncinya apa? Satu, janganlah para kandidat partai itu sering genit menggunakan isu agama," kata Adi.
Sementara itu, Wasis melihat DKI Jakarta sebagai daerah dengan intensitas politik identitas yang tinggi. Sebagaimana Adi, ia menyarankan agar calon Plt Gubernur dipilih secara transparan dan akuntabel.
Hal ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan, prasangka negatif, dan skeptis di antara masyarakat.
"Karena kalau misalnya langsung ditunjuk tanpa masyarakat tahu nanti kan menimbulkan gejolak juga," tutur Wasis.