Lebih lanjut, Adi menduga pada Pilpres 2024 nanti tidak akan terjadi penajaman polarisasi masyarakat di Jakarta. Ia mencontohkan pertarungan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pemilu 2019 yang membelah masyarakat.
Di Jakarta, daerah yang notabennya mengangkat Anies menjadi DKI 1, Prabowo kalah dari Jokowi.
"Enggak ada penajaman polarisasi di DKI kalau Pilpres. Pemakaman polarisasi ya terjadi pada Pilkada 2024 saja," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Adi, polarisasi bisa dihindari selama calon kepala daerah tidak menyinggung agama tertentu dan menggunakan agama untuk memobilisasi dukungan.
Pada Pilkada DKI Jakarta kemarin, kata Adi, polarisasi terjadi karena Ahok menyinggung surah Alquran, Al-Maidah. Ahok dinilai tidak memiliki proporsi membicarakan ayat tersebut.
Hal ini berbeda dengan daerah lain yang menggunakan isu agama seperti kedekatan calon dengan masyayikh dan ulama. Masyarakat setempat tidak terpolarisasi karena tidak menyinggung.
"Di Jakarta beda, ada Ahok, bukan Islam, dan menghina Al-Maidah. Kan begitu konteksnya, ramai lah itu," ujar Adi.
Untuk menghindari polarisasi masyarakat, Adi menyarankan calon kepala daerah tidak genit menggunakan isu agama. Ia juga mewanti-wanti calon pemimpin menghindari mengkritik agama lain yang tidak proporsional seperti yang terjadi pada Ahok.
"Kuncinya apa? Satu, janganlah para kandidat partai itu sering genit menggunakan isu agama," kata Adi.
Sementara itu, Wasis melihat DKI Jakarta sebagai daerah dengan intensitas politik identitas yang tinggi. Sebagaimana Adi, ia menyarankan agar calon Plt Gubernur dipilih secara transparan dan akuntabel.
Hal ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan, prasangka negatif, dan skeptis di antara masyarakat.
"Karena kalau misalnya langsung ditunjuk tanpa masyarakat tahu nanti kan menimbulkan gejolak juga," tutur Wasis.