Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan terkait status ketua lembaga peradilan tersebut, Anwar Usman, usai putusan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 yang dibacakan pada Senin (20/6) lalu.
Juru bicara (Jubir) MK Fajar Laksono menuturkan di dalam putusan tersebut tak menyatakan Anwar Usman harus mundur dari kursi ketua MK yang diduduki saat ini.
"Bukan meminta mundur Ketua MK saat ini, melainkan menegaskan garis konstitusional bahwa Ketua MK dan Wakil Ketua MK itu dipilih oleh hakim konstitusi," ujar Fajar melalui keterangan tertulis, Selasa (21/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keduanya [Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto] baru bisa menjabat setelah melalui proses pemilihan yang dilakukan oleh hakim konstitusi, tidak otomatis menjabat karena ketentuan UU," imbuhnya.
Ia menjelaskan, Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto baru bisa menjabat kembali setelah melalui proses pemilihan yang dilakukan sembilan hakim konstitusi.
"Otomatis seperti ketentuan Pasal 87 huruf b, itu menegasikan hak hakim konstitusi untuk memilih Ketua dan Wakil MK yang diberikan dan dijamin oleh Pasal 24 Ayat (4) UUD 1945," kata Fajar.
Putusan atas perkara uji materi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan Anwar dalam sidang kemarin menyatakan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945.
"Tidak ada redaksi dalam Putusan MK kemarin yang menyatakan Ketua MK Anwar Usman harus mundur sebagai Ketua MK," tegas Fajar.
Ia menerangkan dalam Putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020, Pasal 87 huruf a UU 7/2020 itu dinyatakan inkonstitusional.'Sebagai informasi, Pasal 87 huruf a dalam UU 7/2020 tentang MK menyatakan: "Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini".
Fajar mengatakan ada dua argumentasi konstitusional pokok untuk itu.
Pertama, katanya, "frasa 'masa jabatannya' pada Pasal 87 huruf b itu ambigu, apakah masa jabatan sebagai Hakim Konstitusi atau masa jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi? Ini membuat ketidakpastian hukum."
Kedua, pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak sesuai dengan amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
"Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat langsung menjabat tanpa melalui proses pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi. Proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi harus dikembalikan pada esensi pokok amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945," kata Fajar.
Meskipun demikian pascaputusan tersebut, tegas Fajar, Ketua dan Wakil Ketua MK yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya pimpinan lembaga yang baru berdasarkan Pasal 24C ayat (4) UUD 1945.
"Agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif," ujar Fajar.
"Dalam waktu paling lama sembilan bulan sejak putusan ini diucapkan, harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.
Baca halaman selanjutnya untuk tahu daftar putusan uji formil dan materi UU MK yang diterima dan ditolak
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Uji Materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK berujung pada harus mundurnya Anwar Usman dan Aswanto dari kursi Ketua dan Wakil MK.
Anwar Usman dan Aswanto terpilih menjadi pimpinan MK pada 2018 silam, dan tetap dengan jabatan itu setelah UU 7/2020 diundangkan.
Dalam putusan yang dibacakan pada Senin (20/6), MK mengabulkan sebagian dari uji materi tersebut sehingga Pasal 87 huruf a UU 7/2020 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Diketahui, pasal tersebut mengatur posisi ketua MK bisa dijabat oleh hakim konstitusi hingga masa jabatannya sebagai hakim berakhir.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan tersebut dalam sidang yang diikuti via saluran Youtube MK, Senin (20/6)
"Menyatakan Pasal 87 huruf a UU Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," baca Anwar lagi.
Pasal 87 huruf a UU 7/2020 berbunyi: Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Namun demikian, putusan itu tidak mengharuskan Anwar dan Aswanti mundur dari jabatan hakim MK. Sebab, masa jabatan hakim MK adalah hak pembentuk UU. Sehingga, pasal terkait itu, yakni Pasal 87 huruf b tetap berlaku.
Pasal 87 huruf b berbunyi: Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang- Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
Berdasarkan ketentuan, masa jabatan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi berakhir sampai 6 April 2026, dan Aswanto sampai 21 Maret 2029.
Hakim MK Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan dalam pembacaan putusan tersebut mengatakan Wakil Ketua MK tetap menjabat hingga terpilih penjabat yang baru agar tak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo.
"Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi," baca Enny.
Dalam putusan tersebut, dari sembilan hakim MK ada alasan berbeda (concuring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dua hakim yang memiliki concuring opinion serta dissenting opinion sama adalah Arief Hidayat dan Manahan MP Sitompul.
Hakim konstitusi Wahidudin Adams memiliki pendapat berbeda, dan hakim konstitusi Saldi Isra memiliki alasan berbeda.
Kemudian alasan dan pendapat berbeda disampaikan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Dan, ada alasan berbeda dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.
Anwar Usman kemudian menyampaikan pendapat berbedanya dalam putusannya tersebut.
"Norma di dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu sistem yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak boleh di dalam pembentukan sebuah undang-undang ada norma yang justru menegasikan norma lainnya. Jika hal tersebut terjadi,maka dapat disimpulkan bahwa penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut keluar atau tidak sesuai dengan kaidah pembentukan perundang-undangan yang baik," tutur Anwar.
Diketahui, Permohonan uji materi ini dilakukan Priyanto, warga Muara Karang, Pluit yang teregister nomor 96/PUU-XVIII/2020. Menurut pemohon ketentuan pada Pasal 87 huruf a UU 7/2020 itu bersimpangan atau tak selaras dengan pasal 4 ayat 3 UU 7/2020.
Pemohon menilai pasal yang diujikan itu menimbulkan multitafsir, bahkan penyelundupan norma hukum secara samar dan terselubung.
Selain pasal tersebut, pada hari yang sama MK juga membacakan putusan terhadap dua gugatan lainnya soal uji materi UU MK. Kedua gugatan itu ditolak. Salah satu gugatan yakni soal soal kenaikan syarat usia hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun.
Lalu, gugatan lainnya terkait Pasal 15 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), serta Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK dan Pengujian materiil Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 UU MK.