Rentetan Pasal Produk 'Penjajah' Masih Tercecer di RKUHP

CNN Indonesia
Rabu, 29 Jun 2022 06:20 WIB
Forum Akademisi mengungkap maraknya pasal-pasal yang dipakai para penjajah era kolonial yang masih ditampung dalam RKUHP.
Sejumlah mahasiswa dari beberapa universitas berunjuk rasa terkait pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di kawasan patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Selasa (21/6/2022). (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Para akademisi mengingatkan pembuat undang-undang agar penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak menerapkan dekolonialisasi secara terbatas.

Mereka menilai dalih yang dipakai pembuat undang-undang untuk mengubah KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda itu harus seiring misi demokratisasi hukum di Republik Indonesia saat ini.

"Proses dekolonialisasi hukum pidana tidak boleh dimaknai secara terbatas pada penyusunan Rancangan KUHP Nasional yang berbahasa Indonesia," demikian rilis media yang diterima dari Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 yang diterima Minggu (26/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dekolonialisasi justru harus dilakukan dengan mengevaluasi ketentuan pidana yang memang secara khusus digunakan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menunjukkan watak kolonialismenya, seperti pidana mati, penghinaan Presiden/Wakil Presiden, penghinaan terhadap Pemerintah, penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, dan sebagainya," kelanjutannya dalam siaran pers tersebut.

Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 merupakan forum akademik sejumlah akademisi terhadap substansi dan proses pembahasan RKUHP. Kegiatan itu dilakukan pada 22-23 Juni 2022 silam dengan membahas empat tema fundamental dalam penyusunan RKUHP.

Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP2022 itu diselenggarakan kerja sama 10 lembaga perguruan tinggi, seperti di antaranya Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya, Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjajaran, dan Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia.

Setidaknya ada 11 kesimpulan yang diambil forum tersebut menyangkut empat  tema fundamental dalam penyusunan RKUHP: Tujuan Pembaruan RKUHP,  Kodifikasi dalam Politik Hukum Pidana Indonesia, Harmonisasi Delik untuk Pembaruan KUHP, dan Uji Implementasi RKUHP. 

Mereka menilai upaya Dekolonialisasi RKUHP mesti mengoreksi sejumlah aturan pidana yang mencerminkan sikap kolonialisme Belanda. Menurut mereka, selain pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, contoh aturan yang bersifat kolonial adalah ketentuan soal pidana mati.

Forum yang diselenggarakan 10 lembaga perguruan tinggi di Indonesia itu berpendapat semestinya pemerintah dan DPR menghapus pidana mati dari sistem hukum nasional. Menurut mereka, model pidana mati yang diterapkan dalam RKUHP belum mewujudkan dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana.

Jika pada akhirnya pemerintah dan DPR tetap menerapkan hukuman mati, RKUHP harus memberikan jaminan masa percobaan selama 10 tahun. Keputusan sanksi tersebut juga tidak boleh diserahkan pada penilaian hakim.

Puluhan massa Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi melakukan aksi di depan gedung DPR RI,  Jakarta. Senin 16 September 2019. Dalam aksinya massa menolak pengesahan RKUHP. CNN Indonesia/Andry NovelinoGelombang demonstrasi di banyak daerah Indonesia telah membuat RKUHP batal disahkan di ujung masa bakti DPR periode 2014-2019 silam. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa Belanda --selaku pembuat kitab KUHP Indonesia-- kini sudah tidak lagi menerapkan hukuman mati.

Erasmus menjelaskan KUHP pada masa Belanda saat itu diterapkan di Indonesia (Hindia-Belanda) dengan sejumlah ketentuan yang ditambah karena mereka menganggap nusantara sebagai daerah koloni atau masyarakat kelas tiga. Salah satunya tentang hukuman mati, di mana ketentuan itu diterapkan di Hindia Belanda lalu diadopsi KUHP Indonesia pascaproklamasi. 

Padahal di Belanda, kata Erasmus, aturan tersebut telah dihapuskan sekitar tahun 1870 dengan alasan civilization atau peradaban.

Bukan hanya hukuman mati, Erasmus melihat masih ada pasal-pasal dengan semangat kolonialisme yang tersisa.

"Semangatnya itu pembuat UU bilang ingin menghapus pasal-pasal kolonial, tapi yang kolonial itu masih ada [di dalam RKUHP]," kata dia, Selasa (21/6).

Oleh karena itu, pihaknya pun menantang pembuat undang-undang untuk menunjukkan ke publik soal klaim dekolonialiasi yang dihapus dari RKUHP, dan alasan pasal terkait kolonialisme yang masih disisakan.

"Kalau disebut dekolonialisasi, kepentingannya harus di-mention mana saja bagian yang semula kolonialisasi itu," katanya.

Infografis - Pasal Kontroversial RKUHPInfografis - Pasal Kontroversial dalam draf RKUHP 2019. (CNNIndonesia/Astari)

DPR Tak Tampik Masih Ada Kolonialiasme dalam RKUHP

Anggota Komisi III DPR tak menampik ada sejumlah norma dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memang masih mengandung semangat kolonialisme.

"Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada sejumlah norma di dalam perubahan RKUHP yang sebagian orang memandang bahwa ini seperti mengulang kembali semangat kolonialisme," kata Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil dalam diskusi daring dengan tema 'Quo Vadis RKUHP', Jumat (25/6).

Kendati demikian, Nasir, yang merupakan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, mengaku semuanya kembali lagi kepada pendapat masing-masing individu.

Pihaknya meminta agar ada titik temu antara parlemen dan masyarakat sipil agar tercapai pemahaman yang sama terkait pasal-pasal krusial dalam RKUHP.

Hal itu merespons pernyataan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti pada kesempatan yang sama yang menilai banyak pasal krusial di dalam RKUHP yang mereproduksi semangat kolonialisme Belanda. Dalam paparannya, Bivitri mengaku tidak melihat urgensi RKUHP apabila isinya tidak baru dan mengikuti paradigma lama.

Bivitri lantas mencontohkan sejumlah pasal 'kolonialisme' seperti penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354 RKUHP), serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (Pasal 273 RKUHP).

"Pasal harkat dan martabat presiden itu dulu ya dibuat karena kita sebagai pribumi yang dianggap tidak beradab dan dirasa perlu ditertibkan karena suka menghina ratu. Jadi paradigma lama tuh, tapi direproduksi sekarang, kita bukan pribumi versus penjajah," ujar Bivitri.

Nasir mengatakan Komisi III telah mengundang wakil dari pemerintah untuk membahas kelanjutan nasib RKUHP terkait apakah menerapkan sistem carry over atau pembahasan ulang.

Penerapan sistem carry over ini dimaksudkan agar pembahasan RUU tidak dimulai dari awal, namun bisa meneruskan draft dari kepengurusan periode yang lalu. Pasalnya, RKUHP batal disahkan pada DPR periode 2014-2019.

"Memang ada sebagian ada yang dibahas kembali, saya termasuk yang meminta agar ini dibuka kembali diberi ruang kepada elemen sipil untuk berpartisipasi," ujar Nasir.

Draf RKUHP Masih Misterius

Erasmus dan Aliansi Sipil juga mengkritisi draf RKUHP yang masih belum dibuka ke publik. Draf RKUHP yang bisa diakses publik saat ini masih salinan bermasalah cetakan 2019 silam yang menimbulkan gejolak demonstrasi di sejumlah daerah di Indonesia.

Kala itu aliansi sipil mengajukan 24 hal krusial yang bermasalah dari RKUHP. Namun terbaru, di rapat bersama Komisi III DPR pada 25 Mei lalu, pemerintah yang diwakili Kemenkumham mengajukan 14 isu krusial saja yang dibahas untuk diubah.

Dalam rapat itu Komisi III dan pemerintah kemudian sepaham untuk mengejar target pengesahan RKUHP tersebut pada Juli mendatang. Namun Wamenkumham Edward OS Hiariej mengatakan draf RKUHP terbaru belum bisa diakses publik karena pihaknya masih memperbaiki sejumlah salah tik dan harmonisasi.

Belakangan, sambung pria yang karib disapa Eddy itu, pihaknya malah ragu RKUHP  bisa disahkan sebelum DPR reses pada 7 Juli 2022.

"Kalau melihat kurang dari dua minggu masa reses, rasanya belum disahkan bulan Juli," ujar Eddy dalam agenda 'Diskusi RUU KUHP Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM' di Jakarta, Kamis (23/6).

"Tanggal 7 [Juli] itu kan dua minggu dari sekarang, ada sidang paripurna untuk menutup masa sidang dan reses baru masuk tanggal 16," imbuhnya.

Eddy menjelaskan pembahasan UU titik beratnya ada pada DPR.

Pemerintah, lanjut dia, saat ini masih fokus menyelesaikan draf RKUHP berdasarkan masukan publik, mengurus tipo, rujukan, hingga sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan. Setelah itu, draf baru bisa diserahkan ke DPR.

"Mengenai berapa kali pembahasan kami belum tahu pasti, Tapi, sekali lagi, kita masih menunggu, karena ini bukan otoritas pemerintah semata, ini kerja sama antara pemerintah dan DPR," kata Eddy.

Baca halaman selanjutnya, soal Kriminalisasi Berlebihan di RKUHP

Overkriminalisasi di Dalam RKUHP

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER