Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan aliansi sipil mendata setidaknya 24 isu krusial yang bermasalah dalam RKUHP pada draf September 2019 silam. Namun, kata dia, tak semuanya mendapat perhatian dari pembuat undang-undang.
Dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 25 Mei lalu, pemerintah menjelaskan hasil pembahasan kembali 14 isu krusial.
Erasmus membeberkan setidaknya ada tiga klaster utama materi bermasalah yang pihaknya data dari RKUHP draf 2019, dan matriks penjelasan di rapat Komisi III DPR pada Mei lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ICJR menilai klaster-klaster pasal yang diprotes itu adalah:
A. Berpotensi berbahaya bagi demokrasi;
B. Pasal-pasal yang berpotensi berbahaya pada kelompok rentan, kebebasan sipil, dan kelompok rentan;
C. Overkriminalisasi atau pemidanaan berlebihan.
Dalam dokumen yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM pada Mei 2022, beberapa pasal itu diketahui masuk ke dalam isu krusial yang dibahas kembali. Sedikitnya ada 14 isu krusial yang dibahas pemerintah dan disosialisasikan ke Komisi III DPR pada 25 Mei lalu.
Forum akademik Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 yang digelar 22-23 Juni silam menyimpulkan proses kriminalisasi yang dilakukan RKUHP belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan terhadap proses demokratisasi hukum pidana.
Mereka juga melihat proses konsolidasi dan harmonisasi hukum pidana terhadap perkembangan asas dan tindak pidana di Indonesia juga belum dilakukan dengan optimal. Salah satunya adalah RKUHP belum memberikan respon terhadap liarnya tafsir 'makar' dalam praktik penegakan hukum yang diartikan secara serampangan.
"Padahal, 'makar' seharusnya dikembalikan kepada makna asalnya dalam Bahasa Belanda, yaitu 'aanslag' yang berarti 'serangan'. Sementara itu, istilah 'makar' yang diatur dalam Pasal 87 KUHP harus secara terbatas diartikan sebagai konteks pertanggungjawaban pidana untuk delik tersebut," kata mereka.
Selain itu, dari 11 kesimpulan forum itu juga menyoroti norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang masuk ke dalam RKUHP.
"Skema pengakuan terhadap nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang digunakan untuk menghukum perbuatan seseorang dalam Pasal 2 RKUHP justru kontraproduktif dengan dinamika kehidupan masyarakat adat," kata mereka.
"Dengan mengambil alih penyelesaian permasalahan di masyarakat adat, Negara membenarkan instrumen penegakan hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk memproses konflik tersebut dan berpotensi mematikan pranata yang selama ini berkembang di lingkungan masyarakat adat dimaksud," imbuhnya.
Mereka melihat apabila tak banyak perubahan RKUHP dari yang dipersoalkan pada 2019 silam, maka pengesahannya yang ditargetkan dalam waktu dekat akan sangat berdampak pada overkriminalisasi. Selain itu, berpotensi besar membuka ruang penyalahgunaan oleh penegak hukum seandainya mekanisme hukum acara pidana masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini.
"Pengesahan RKUHP akan sangat berdampak pada overkriminalisasi dan berpotensi besar membuka ruang penyalahgunaan oleh penegak hukum Pengesahan RKUHP akan sangat berdampak pada overkriminalisasi dan berpotensi besar membuka ruang penyalahgunaan oleh penegak hukum," kata mereka.
Sementara itu, Wamenkumham Edward OS Hiariej menyatakan pemerintah tidak buta dan tuli dalam mengerjakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Kita mendengar betul, kita tidak tuli dan tidak buta," ujar Eddy saat memberikan paparan dalam agenda 'Diskusi RUU KUHP Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM' di Jakarta,, Kamis (23/6).
Eddy menjelaskan pemerintah telah mengundang dan mendengar masukan dari berbagai elemen masyarakat dalam penyusunan RKUHP. Ia mengatakan masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multietnis, multireligi, dan multikultural. Hal itu membuat pembahasan RKUHP memerlukan waktu yang panjang dan tak bisa semua permintaan masyarakat diakomodasi.
"Oleh karena itu, kita mencari titik-titik tertentu untuk kemudian tolak tarik itu, ya, paling tidak dia berada di tengah," katanya.
Terkait draf terbaru RKUHP yang belum bisa diakses publik, Eddy menerangkan bahwa itu bukan berarti pemerintah tertutup. Ia menyatakan draf akan dibuka ke publik jika sudah diserahkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan.
"Bukannya kami tidak mau membuka draf tersebut kepada publik, tapi ini ada proses yang harus dihormati bersama. tutur dia yang sebelumnya dikenal sebagai Guru Besar Hukum Pidana di UGM tersebut.
(kid, pop/ugo)