Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ikut mengajukan gugatan mengenai presidential threshold ke MK. Gugatan diajukan oleh dua pemohon yaitu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS dan Ketua Majelis Syuro Salim Segaf Al-Jufri, Rabu (6/7).
Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengungkapkan tiga alasan gugatan diajukan. Pertama, masyarakat ingin aturan ambang batas presiden 20 persen itu diubah. Syaikhu mengaku gugatan itu diajukan setelah pihaknya bertemu dan mendengar aspirasi masyarakat yang menolak aturan dimaksud.
Kedua, PKS ingin memperkuat sistem demokrasi serta peluang calon Presiden dan Wakil Presiden lebih banyak pada masa mendatang. Terakhir, untuk mengurangi polarisasi di tengah masyarakat yang disebabkan dengan dua kandidat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana Pemilu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun PKS mengajukan agar presidential threshold menjadi 7-9 persen kursi DPR.
"Kami tidak ingin beralih dari kutub yang ekstrem di mana PT sangat tinggi 20 persen, lalu berpindah ke kutub ekstrem berikutnya yakni PT 0 persen, karenanya dua-duanya justru akan menghasilkan permasalahan bangsa. Jadi, kami mengambil jalan tengah," ucap Syaikhu.
Permohonan ini belum diperiksa MK.
Partai Ummat melalui Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal A. Muhajir juga menggugat Pasal 222 UU Pemilu. Mereka menunjuk Refly Harun dan Denny Indrayana sebagai kuasa hukum.
Dalam permohonannya, Partai Ummat meminta MK membatalkan presidential threshold. Pemohon menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945.
Ridho mendalilkan ketentuan presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Menurut dia, presidential threshold tidak sesuai prinsip kepastian dan keadilan hukum. Selain itu, aturan tersebut telah melanggar hak konstitusional Partai Ummat dalam mengajukan calon Presiden.
"Berlakunya ambang batas dalam pencalonan presiden (presidential threshold) berimplikasi pada pengabaian dan/atau melanggar hak konstitusional Partai Ummat, in casu Pemohon, sebagai partai politik yang memiliki fungsi menyalurkan aspirasi dan/atau pendapat masyarakat dalam mengajukan calon Presiden (right to be a candidate) pada pemilihan umum tahun 2024," ucap dia.
Permohonan yang diajukan Partai Ummat belum diperiksa MK.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono menggugat ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu ke MK.
Gatot menyatakan presidential threshold merugikan karena menghalangi kandidat-kandidat terbaik bangsa untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Ia juga menilai syarat ambang batas pencalonan menimbulkan potensi politik transaksional.
Sementara Ferry berujar ambang batas pencalonan presiden menabrak prinsip perlakuan yang sama terhadap partai politik. Dia berpendapat aturan itu membuat jabatan presiden hanya bisa diakses oleh oligarki. Ferry mengajukan gugatan atas nama personal, bukan Partai Gerindra.
Pada Kamis (24/2), MK menolak gugatan keduanya. Mahkamah menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam mengajukan permohonan a quo. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan pokok permohonan para pemohon tidak dipertimbangkan.
Dalam permohonannya, para pemohon meminta MK menghapus syarat ambang batas yang telah membatasi hak seseorang mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Para pemohon ingin ketentuan presidential threshold diubah menjadi 0 persen dengan harapan agenda Pemilu mendatang bisa lebih berkualitas dan adil.
Namun, pada Kamis, 14 Januari 2021 lalu, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan para pemohon tersebut. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai ambang batas presiden dalam Pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon.
Menurut Mahkamah, pemilih pada pemilihan legislatif 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan Presiden.
Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang diwakili oleh Ketua Umum Agus Jabo Priyono dan Sekretaris Jenderal Dominggus Oktavianus Tobu Kiik menguji materi Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan: "Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU."
Dalam gugatannya, partai PRIMA menilai proses verifikasi peserta pemilu terhadap partai politik secara faktual yang diatur dalam Pasal ini tak lagi relevan.
Selain itu, mereka menyoroti perlakuan berbeda atau perlakuan istimewa terhadap partai politik yang lolos parliamentary threshold pada Pemilu 2019. Mereka menilai hal itu mencederai asas equality before the law.
Partai di parlemen, menurut mereka, sudah mapan dan mempunyai kursi yang dalam batas-batas tertentu memiliki wewenang kekuasaan. Dalam putusan yang dibacakan kemarin, Kamis (7/7), permohonan tersebut dinilai Mahkamah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Mahkamah menyatakan substansi yang dipersoalkan para pemohon pada hakikatnya sama dengan yang telah diputus Mahkamah dalam putusan MK Nomor: 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda serta alasan konstitusional yang digunakan oleh pemohon juga berbeda.
Namun, esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual.
"Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum permohonan a quo," terang Hakim Anggota Wahiduddin Adams.
Dalam putusan perkara nomor: 55/PUU-XVIII/2020, MK memaknai Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu menjadi:
"Partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual."
"Adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru."