Menelusuri Muasal Babarsari yang Kini Dicap Miring Sarang Konflik

Tunggul Damarjati | CNN Indonesia
Sabtu, 09 Jul 2022 11:47 WIB
Babarsari, kawasan yang dua dekade lalu masih penuh sawah, kini mendapat cap miring dan stigma sarang konflik.
Kawasan Babarsari di Yogyakarta menjadi sorotan setelah terjadi kericuhan pada akhir pekan lalu. (CNN Indonesia/Tunggul)

Mantan Camat Depok Abu Bakar sementara menganggap kawasan Babarsari terlanjur kena stigma miring. Padahal, menurut dia, beberapa friksi antar warga maupun pendatang atau kejadian berbau kriminal lain terjadi di wilayah perbatasan bahkan luar Babarsari.

Semisal, kejadian penganiayaan berujung hilangnya nyawa dua mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta awal Mei 2022 lalu terjadi di Simpang Empat Selokan Mataram.

"Ya digeneralisir. Padahal bukan di wilayah Babarsari, sudah stigma aja dari luar, dari medsos. Saking terkenalnya Babarsari," kata Abu saat dihubungi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekretaris BKAD Kabupaten Sleman itu lebih melihat Babarsari yang kini menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Bumi Sembada. Dia enggan menyebutnya sebagai daerah sarang konflik.

"Kota yang dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Belum kota dalam kota. Karena itu pusat pertumbuhan ekonomi to, jadi banyak yang merantau ke situ. Ada untuk kuliah, kerja," ucapnya.

Kepala Jawatan Keamanan Kecamatan Depok Agustinus Aris memastikan, peristiwa kekerasan yang terjadi di wilayahnya pada tanggal 2 dan 4 Juli 2022 tidak terjadi di Babarsari.

Sepenuturannya, lokasi insiden kericuhan oleh sekelompok massa yang berakibat rusaknya sejumlah bangunan kios dan tujuh unit sepeda motor pada tanggal 4 Juli kemarin secara administratif masuk wilayah padukuhan Kledokan.

Sedangkan keributan antar dua kelompok di tempat karaoke atau Kafe MG tanggal 2 Juli sebagai salah satu pemicu awal insiden 4 Juli berlokasi di padukuhan Seturan.

"Babarsari masuknya (Padukuhan) Tambak Bayan. Babarsari itu hanya jalan sebetulnya, wilayahnya Tambak Bayan. Termasuk di dalamnya Atma Jaya, Hyperbox, Sahid J-Walk, itu Tambak Bayan. Ruko Raflesia tempat Gacoan itu sudah Kledokan," katanya merinci.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto melihat bahwa munculnya konflik antar warga seperti di Babarsari dan sekitarnya dikarenakan pola pertumbuhan di provinsi ini sudah menyerupai kota metropolis. Sementara pengaturan regulasi tak seistimewa status daerahnya.

"Regulasinya seperti perkembangan kota Jakarta, Surabaya, dan lain-lain. Provinsi ini tidak tumbuh istimewa seperti masyarakatnya, seperti keratonnya. Jadi ini tumbuh seperti kota metropolis," kata Derajad dalam keterangannya.

Derajad menilai, regulasi yang ada di Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan daerah sekitarnya, kata dia, semestinya harus terefleksi dari kondisi masyarakat yang ada. Semisal, terkait dengan jam belajar yang kini nyaris tak terlihat penerapannya.

Bagi Derajad, jam belajar ini seharusnya jadi hal yang istimewa. Namun demikian sekarang sudah tak lagi diikuti karena kota telanjur tumbuh bagaikan metropolis.

"Ke depan regulasi yang ada mestinya diadaptasikan dengan konsep istimewanya Yogyakarta. Kalau istimewa bagi pelajar adalah jam belajar, ini harus diperhatikan," kata dia.

Sebagai Kota Pelajar, lanjut Derajad, Yogyakarta dan wilayah sekitarnya sejatinya lebih butuh ketenangan. Ia berpendapat, fasilitas-fasilitas mahasiswa seperti co-working space perlu lebih diperbanyak ketimbang menghadirkan sesuatu yang justru berpotensi mengundang konflik.

"Kalau yang tumbuh kemudian adalah karaoke, hotel-hotel, apartemen kan tidak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya, dan lain-lain," ucapnya.

Selain itu, katanya, aktivitas perekonomian harusnya tumbuh inklusif selaras dengan budaya di Yogyakarta yang sudah menerima perbedaan suku dan adat.

Ekonomi Yogyakarta yang belum inklusif hanya akan menjadikan pertumbuhan kota bermasalah, lantaran tak berpijak pada kultur yang ada di tengah masyarakat.

"Justru yang kami lihat ekonomi di Yogyakarta 'kan sepertinya merespons perkembangan kota besar, padahal kota-kota besar 'kan kehidupan ekonominya cenderung eksklusif," kata dia.

Menjamurnya tempat-tempat hiburan seperti tempat karaoke, bagi Derajad, wajib diikuti ketentuan yang ditaati atau dijunjung tinggi. Sehingga apabila terjadi konflik bisa ditengahi.

"Perbedaan dengan Bali, misalnya. Di Bali memiliki pecalang atau polisi adat. Meski tidak perlu seperti itu, setidaknya aparat pemerintah daerah mestinya cara berpikirnya sudah inklusif. Ini yang jadi masalah di Yogya, masyarakatnya sudah multikultur, inklusif tetapi bisnisnya belum inklusif. Ini yang harus diubah," kata Derajad.

(kum/vws)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER