Litbang Kompas: 89 Persen Responden Tak Tahu Rencana Pengesahan RKUHP

CNN Indonesia
Senin, 11 Jul 2022 10:10 WIB
Litbang Kompas menyebut kengganan melibatkan masyarakat dalam perumusan RUU sudah menjadi gejala umum, termasuk terjadi di RKUHP.
Demonstrasi mahasiswa menolah RKUHP yang memuat sejumlah pasal kontroversial. (CNN Indonesia /Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas memperlihatkan bahwa sebanyak 89,3 persen responden tidak tahu soal rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Litbang Kompas menggelar jajak pendapat terhadap 519 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi melalui telepon pada 15-17 Juni 2021. Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian sekitar 4,30 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Dari hasil ini, Litbang Kompas menyimpulkan bahwa pembahasan RKUHP yang drafnya baru saja diserahkan oleh pemerintah ke DPR pekan lalu berjalan dalam lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik.

Litbang Kompas memandang hak publik untuk bersuara dan ikut terlibat dalam proses perumusan RKUHP perlu untuk dipertimbangkan serius.

"Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan akhir Juni 2022 merekam, mayoritas responden atau 89,3 persen mengaku tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Sederhananya, dari 10 orang, boleh jadi hanya 1 orang yang tahu soal rencana pengesahan RKUHP ini," demikian hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dikutip dari Kompas.id, Senin (11/7).

Litbang Kompas juga memandang, keengganan melibatkan dan mendengarkan secara meluas suara publik dalam proses meramu kitab peraturan pidana yang baru ini seperti sudah menjadi gejala umum. Hal ini umumnya terjadi ketika obyek dari aturan tersebut memicu kontroversi dan polemik.

Absennya suara masyarakat dalam pembahasan RKUHP sebetulnya bukan hal baru. Kasus serupa sudah terjadi ketika pemerintah dan DPR membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Lebih lanjut, hasil jajak pendapat Litbang Kompas memperlihatkan bahwa 57,8 persen responden setuju RKUHP tetap memuat pasal martabat penyelenggara negara. Hanya 36,3 responden yang tidak setuju ada pasal di RKUHP yang mengatur martabat penyelenggara negara.

Kemudian, 51,8 responden menyatakan yakin pembahasan pasal terkait martabat presiden akan lebih mendengarkan pendapat publik, sementara itu 38,7 persen responden menyatakan tidak yakin.

Terkait pandangan responden tentang jenis bentuk kritik terhadap presiden atau wakil presiden yang layak dikategorikan sebagai menyerang kehormatan beragam.

Sebanyak 21,6 persen menilai serangan terhadap kehormatan itu dapat berupa hal-hal yang menyangkut pribadi atau keluarga,  lalu 16,5 persen ujaran kebencian, 11,5 persen kinerja, 74 persen menyangkut meme, serta 3 persen soal SARA dan hoaks.

Terakhir, 41,5 persen responden khawatir pasal terkait martabat presiden dan wakil presiden akan membatasi kebebasan berpendapat. Hanya 22,9 persen responden yang menyatakan tidak khawatir.

"Ada 41,5 persen responden khawatir, 28,9 persen tergantung bentuk penghinaan, dan 22,9 persen tidak khawatir," demikian hasil survei Litbang Kompas.

Perjalanan penyusunan RKUHP telah melalui sejumlah tahapan sejak pertama kali disusun pada 2015. Namun, penantian panjang agar RKUHP disahkan menjadi UU pada Juli 2022 ini belum dapat terwujud.

Sejumlah pasal kontroversial pun masih tercantum di dalam draf terbaru yang diserahkan pemerintah ke Komisi III DPR RI pada Kamis (7/7).

(mts/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER