Indonesia Police Watch (IPW) mengatakan klaim-klaim kepolisian terkait kematian Brigadir J perlu dibuktikan dengan tiga instrumen penyelidikan yaitu fotografi forensik, balistik forensik, dan bedah mayat atau autopsi.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyatakan tiga instrumen itu harus dilakukan lewat penyelidikan yang kredibel dari tim gabungan pencari fakta (TGPF) atau tim independen di luar Divisi Propam.
"Yang dibutuhkan adalah pertama penyelidikan yang menyeluruh, penyelidikan yang kredibel. IPW mengusulkan pembentukan TGPF untuk mendapatkan penyelidikan yang kredibel," kata Sugeng saat dihubungi, Selasa (12/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sugeng menjelaskan beberapa klaim kematian Brigadir J yang menimbulkan pertanyaan seperti bekas pemukulan dan sayatan di tubuhnya. Selain itu juga kesesuaian senjata yang berhak digunakan Bharada E dengan peluru di tubuh Brigadir J.
Sugeng pun memaparkan fotografi forensik atau pengambilan foto semua benda atau keadaan di dalam tempat kejadian perkara dapat memberikan satu keterangan penting dalam penyelidikan.
"Misalnya senjata Brigadir J itu [jenis] apa ketika posisi dia melakukan [penembakan] itu? Kemudian senjata Bharada E itu apa? Di mana posisi proyektil, di mana posisi [tubuh] Brigjen J, bagaimana bentuk rumah, ruang-ruang atau selasar-selasar?" papar Sugeng.
"Di sana akan difoto keberadaan CCTV dan foto-foto tersebut akan memberikan satu keterangan penting dalam penyelidikan," tegasnya.
Selain fotografi forensik, Sugeng juga mengarahkan pada uji balistik terkait penggunaan senjata Bharada E dan Brigadir J. Mulai dari kesesuaian dengan kepemilikannya hingga untuk mengetahui arah tembakan dan lainnya.
"Tujuh tembakan dari Brigadir J itu tertanam di mana? Dengan foto forensik tadi posisi keberadaan Brigadir J itu bisa dijelaskan secara logis," kata Sugeng.
Sementara, langkah terakhir adalah bedah mayat atau autopsi yang harus dilakukan ahli forensik. Sebab, menurutnya, mayat Brigadir J dapat memberikan bukti kondisi yang ia alami sebelum kematiannya.
"Ini juga yang harus dicek, tembakan kena bagian mana? Tembakan mana yang melumpuhkan dia? Apakah satu tembakan sudah cukup? Mengapa [harus] lima tembakan?" tanya Sugeng.
Selain itu, penyelidikan ini harus memastikan bahwa TKP belum diintervensi ketika pihak kepolisian datang.
Berulang kali ia menegaskan bahwa proses penyelidikan ini adalah bagian dari pencarian keadilan bagi kedua belah pihak yaitu Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan keluarga Brigadir J.
"Proses pencarian keadilan itu tidak boleh sepihak, pihak polisi sudah menyatakan Brigadir J sebagai terduga pelaku pelecehan dan pengancaman. Kan ada keluarga di sana yang bertanya-tanya perlu juga diberikan satu jawaban pemenuhan rasa keadilannya," pungkas Sugeng.
Brigadir J tewas dalam kontak tembak dengan Bharada E di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo pada Jumat (8/7). Menurut Polri insiden itu dipicu pelecehan yang dilakukan Brigadir J kepada istri pejabat Polri itu.
Penembakan itu terjadi di Kompleks Polri tepatnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan pada sekitar pukul 17.00 WIB. Irjen Sambo disebut sedang tak berada di rumah ketika baku tembak terjadi.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, total tujuh tembakan yang dikeluarkan oleh Brigadir J. Namun tak ada peluru yang mengenai Bharada E. Ramadhan berujar hal ini disebabkan jarak tembakan Brigadir J sekitar 10 meter dari lantai bawah.
Tembakan itu dibalas sebanyak lima kali oleh Bharada E dan beberapa diantaranya mengenai korban hingga tewas.
Sedangkan, keluarga Brigadir J tidak terima dengan pernyataan Polri yang menyebut kematian anggota polisi itu akibat dari adu tembak.
Tante dari Brigadir J, Roslin mempertanyakan soal adanya bekas sayatan di tubuh keponakannya itu. Selain itu, dua jari Brigadir J pun disebut putus.
(cfd/gil)