Citayam berkembang pesat, namun tidak dibarengi kesiapan pemerintah daerah menyediakan infrastruktur dan ruang-ruang untuk warga. Tak heran, kesemrawutan di sekitar Stasiun Citayam ikut menjalar hingga jantung permukiman warga.
Ketika Roy cs memilih pergi ke Dukuh Atas, sebagian anak-anak lain di Citayam menghabiskan waktu luangnya di halaman rumah, tanah lapang, atau lebih tepatnya lapangan sepak bola.
Ya, lapangan bola adalah satu-satunya ruang interaksi warga di Citayam. Ruang ini jadi sarana olahraga warga sekaligus ruang bertemu orang-orang dari berbagai latar belakang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di lapangan ini pula wanita-wanita terpinggirkan. Di tanah-tanah lapang itu perempuan ibarat tamu. Mereka hanya akan duduk menyaksikan laki-laki beradu otot dan menyepak bola.
Toh, tak ada yang peduli dengan bias gender ruang publik di Citayam. Anak-anak perempuan, remaja, hingga ibu-ibu tetap saja berkumpul di pinggir lapangan bola, terutama saat akhir pekan.
Tanah-tanah lapang ini berubah sedikit lebih egaliter pada musim kawin di bulan-bulan tertentu. Saat itu tanah-tanah lapang sesekali disulap shohibul hajat menjadi panggung dangdut raksasa. Semua orang akan berbaur menikmati hiburan musim nikah.
Ruang interaksi warga juga terjadi di kedai-kedai kecil yang berjejer di pinggir jalan. Biasanya, tempat ini jadi pilihan para abege seusia Roy. Namun untuk bercengkerama di kedai-kedai kecil artinya warga harus membayar terlebih dulu.
Gusti (20), warga asli Citayam, mengamini minimnya ruang publik di tempatnya.
"Enggak ada kalau di Citayam tempat buat anak-anak muda, paling nongkrong di warung kopi. Kurang fasilitas publik soalnya di sini tu," curhatnya.
Ia tak heran jika remaja Citayam kini menginvasi kawasan Sudirman. Namun, ia mengaku tak senang Citayam dikenal banyak orang.
Gusti bilang fashion nyentrik yang ditampilkan para remaja Citayam di ibu kota sangat kontras dengan keadaan Citayam yang sebenarnya. Menurutnya, stempel Citayam Fashion Weeks justru mengaburkan perhatian dari minimnya ruang publik di Citayam.
"Ya semakin banyak orang yang ke sini semakin orang tau. Dari Jakarta misalnya, 'nih orang dari Citayam nih Citayam emang kayak gimana sih jadi pengen tau ah ke Citayam'," katanya.
"Nah pas orang Jakarta ke Citayam wah ternyata kondisinya kayak gini, fenemonanya kayak gini, nah terbentuklah stigma negatif," imbuhnya.
Di Citayam, salah satu lapangan sepak bola terletak tak jauh dari Kantor Desa Ragajaya.
Dari Stasiun Citayam, hanya butuh 10 menit berkendara motor menuju Kantor Desa Ragajaya. Jarak 10 menit dari stasiun ke kantor desa bisa jadi ilusi jika terjebak macet.
Pada beberapa kasus, waktu tempuhnya bahkan bisa sampai satu jam lebih, terutama bagi pengendara mobil yang terjebak macet di Tugu Macan.
Tugu Macan adalah spot macet terparah di Citayam selain stasiun. Sumber kemacetan di Tugu Macan disebabkan oleh jalan yang kecil, perempatan yang asimetris serta deretan toko dan pedagang di sepanjang jalan.
Pada waktu pulang kerja dan weekend, ketika volume kendaraan sedang padat-padatnya, Tugu Macan bisa menyiksa para pengendara yang melintas.
Menghindari macet di Citayam dengan berjalan kaki juga bukan ide bagus. Sebab, tak ada trotoar di hampir seluruh wilayah Citayam.
Saat hujan turun, genangan muncul di mana-mana karena saluran air yang dibuat sesukanya. Got di kanan kiri jalan rata-rata kecil dan sudah tertutup tanah bercampur debu. Sebagian lain menghilang karena dijadikan halaman toko yang berimpitan.
Di pinggir jalan, tiang-tiang listrik dipancang tanpa memperhatikan keamanan warga. Pada beberapa titik, antara kabel listrik dan tanah bahkan hanya berjarak sekitar 2,5 meter.
Kabel-kabel listrik yang menjulur ke bawah itu bisa putus tersangkut kendaraan molen pengembang rumah yang melintas serampangan.
Semua kesemrawutan di Citayam membayangi CNNIndonesia.com di sepanjang jalan stasiun menuju kantor desa.
Motor kami pun tepat berhenti di Kantor Desa Ragajaya. Bangunannya bercat putih dengan warna hitam di tepian.
Bangunan kantor desa terlihat baru. Cat warna putihnya juga masih segar dipandang. Sepanjang mata berkeliling tidak ada poster Roy atau Bonge terpampang.
Kantor desa terlihat sepi. Tak nampak kesibukan seperti di kantor-kantor desa pada umumnya. Padahal, waktu baru pukul 13.00 siang.
Seorang warga yang datang untuk mengurus administrasi harus meninggalkan berkas di meja depan. Sejurus kemudian dia bergegas pergi lantaran tak ada pegawai yang menyambut.
Cuma ada seorang penjaga keamanan yang sedang santai. Tubuhnya dibalut pakaian putih dan celana panjang hijau. Tangan kanannya memegang benda yang akan segera dipindahkan ke tempat sampah.
CNNIndonesia.com mengenalkan diri dengan niat ingin wawancara Kepala Desa Ragajaya. Namun keinginan tersebut tidak kesampaian.
"Bapak lagi pergi sejak pagi. Di kantor enggak ada orang. Sekretaris juga sedang pergi," kata pria tersebut, menjawab pertanyaan kami.
(lna/wis)