Pendamping hukum korban pencabulan dan pemerkosaan anak kiai Jombang Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi, khawatir dengan kondisi psikologis kliennya.
Hal itu merespons perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang bakal menggelar sidang lanjutan perkara itu secara offline. Artinya Bechi akan dihadirkan langsung dalam persidangan itu.
"Secara psikologis kami tentu khawatir korban akan terganggu dengan persidangan secara offline," kata kuasa hukum korban, Jauhar Kurniawan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim pendamping, kata Jauhar, khawatir trauma korban akan terpicu kembali saat berada satu ruangan dengan terdakwa. Maka hal itu jelas akan mengganggu mental korban.
"Yang dikhawatirkan adalah pikiran dan mental korban terganggu saat persidangan, berada di satu ruangan dengan pelaku," ucapnya.
Jauhar yang juga pengacara LBH Surabaya ini mengatakan, sebelumnya pihaknya sudah bersurat kepada Hakim PN Surabaya. Mereka memohon agar sidang tetap digelar secara online bagi terdakwa.
Namun surat itu tak direspons pihak PN. Kemudian, pada persidangan putusan sela, Senin (8/8), majelis hakim ternyata memerintahkan bahwa sidang digelar offline. Seperti permintaan pihak bechi.
"Sebelumnya kami sudah bersurat ke PN meminta agar persidangan bagi terdakwa tetap dilakukan secara online. Respons surat dari PN ya tidak ada," ucap dia.
"Namun dari hasil putusan sela kemarin sebenarnya menunjukkan jawaban dari PN terhadap surat yang kita ajukan," tambahnya.
Pada akhirnya, kata Jauhar, pihaknya pun menerima keputusan majelis hakim yang memerintahkan sidang digelar offline.
Namun pihaknya kembali akan menyurati Pengadilan agar saat korban memberikan kesaksian nanti, terdakwa tak berada di satu ruang yang sama.
"Respons tim kuasa hukum korban pada akhirnya menerima keputusan hakim, namun kami akan mencoba berkirim surat lagi ke PN, terkait ketika pemeriksaan saksi korban tidak dijadikan satu ruangan dengan terdakwa," pungkas Jauhar.
Sementara itu, Koordinator Pidum sekaligus Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) Endang Tirtana mengatakan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) untuk memastikan korban dan saksi tetap aman saat memberikan kesaksian.
"Nanti kami akan melibatkan LPSK untuk membuat [korban] aman dan sebagainya. Nanti kami ada treatment khusus untuk saksi korban, ada pendampingan," kata Endang.
Sebelumnya, sidang perkara pencabulan santriwati, dengan terdakwa Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi selanjutnya akan digelar secara offline. Anak kiai Jombang itu pun bakal hadir langsung di ruang sidang.
"Penetapan PN Surabaya, menimbang bahwa pemeriksaan perkara dan sidang digelar secara offline dengan prokes ketat dan menjaga kamtibmas," kata Ketua Majelis Hakim Sutrisno.
Seperti diketahui, MSAT alias Bechi dilaporkan ke Polres Jombang atas dugaan pencabulan terhadap perempuan di bawah umur asal Jawa Tengah dengan Nomor LP: LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RESJBG. Korban merupakan salah satu santri atau anak didik MSAT di pesantren.
Selama proses penyidikan, MSAT diketahui tak pernah sekalipun memenuhi panggilan penyidik Polres Jombang. Namun, ia telah ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2019.
Kasus ini kemudian ditarik ke Polda Jatim. Namun, polisi belum bisa menangkap MSAT. Upaya jemput paksa pun sempat dihalang-halangi santri dan simpatisan Bechi.
MSAT lalu menggugat Kapolda Jatim. Ia menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah. Ia pun mengajukan praperadilan sebanyak dua kali ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan PN Jombang. Namun, dua kali upaya praperadilan itu pun ditolak. Polisi juga sudah menerbitkan status DPO untuk MSAT.
MSAT akhirnya menyerahkan diri, usai tempat persembunyiannya, di Pesantren Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, dikepung ratusan polisi selama 15 jam. Kini ia mendekam di Rutan Klas I Surabaya, Medaeng, Sidoarjo selama proses persidangan.
Kini Bechi didakwa tiga pasal yakni Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan dengan maksimal ancaman pidana 12 tahun. Kemudian pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun dan pasal 294 KUHP ayat 2 dengan ancaman pidana 7 tahun juncto pasal 65 ayat 1 KUHP.
(frd/ain)