Terpisah, ketua AJI Surabaya, Eben Haezer, menyayangkan pernyataan JPU yang menyebut bahwa pengiriman kontra memori kasasi tidak dibatasi waktu. Ia tak percaya dengan hal itu.
Eben menyebut, ayat 7 pasal 248 UU nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan: "Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi."
Sedangkan ayat 1 pasal tersebut menyatakan: "Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut kami, dari dua ayat tersebut dapat dipahami bahwa jaksa punya waktu 14 hari untuk untuk menyampaikan tembusan kontra memori kasasi karena selama rentang waktu tersebut, panitera akan menyampaikannya kepada pemohon kasasi," kata Eben.
Dia juga kecewa karena JPU baru akan mengirim kontra memori kasasi itu ke PN dan MA, setelah didatangi oleh Nurhadi dan kuasa hukumnya, Selasa (30/8) kemarin.
"Sehingga, aneh kalau JPU menyatakan bahwa pengiriman kontra memori kasasi tidak dibatasi waktu. Saya berharap JPU menjelaskan dasar hukumnya menyatakan demikian apa," katanya.
Eben menegaskan, meski perkara ini sudah sampai ke tingkat kasasi, AJI terus melakukan pengawalan.
Pada 25 Agustus 2022 yang lalu, sejumlah jurnalis AJI Jakarta bersama AJI Indonesia dan LBH Pers menggelar aksi di depan Mahkamah Agung (MA) untuk memastikan aparat penegak hukum profesional dalam menangani perkara tersebut.
"AJI juga sedang dalam proses melakukan audiensi dengan Mahkamah Agung," ujarnya.
Sementara itu, Jaksa Wahyu Hidayatullah, mengakui bahwa surat memori kasasi sempat terselip saat dikirimkan ke pihaknya. Bagian surat administrasi pengadilan tinggi pun meminta maaf.
JPU juga merasa keteledoran itu sebagai hal yang wajar karena perkara yang mereka tangani cukup banyak, bukan hanya perkara kekerasan terhadap jurnalis Nurhadi.
"Ternyata [relaas memori kasasi] sudah diterima PTSP dan diteruskan ke bagian persuratan. Tapi saya kemarin sudah meminta kopi memori kasasi ke PN dan sudah jawab. Hari ini saya segera kirim [kontra memori kasasi] ke PN dan MA. Tetap kirim kok, nggak ada masalah," kata Wahyu.
Kasus ini bermula ketika Nurhadi, ditugaskan oleh Tempo, untuk melakukan investigasi keberadaan Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu saat itu, Angin Prayitno Aji, di sebuah acara pernikahan di Gedung Samudra Bumimoro, Krembangan, Surabaya, Sabtu 27 Maret 2021.
Di tempat itu tengah berlangsung acara pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji dengan anak Kombes Achmad Yani. Belasan aparat kepolisian dan panitia acara yang mengetahui keberadaan dia kemudian memukul, mencekik, menendang, merusak alat kerja, menyekap dan mengancam membunuh Nurhadi.
Dari belasan pelaku, hanya dua orang yang berhasil ditindak secara hukum. Mereka adalah anggota polisi aktif Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi. Dalam persidangan, mereka divonis sepuluh bulan penjara.
Majelis hakim menilai kedua terdakwa terbukti bersalah melanggar tindak pidana pers sebagaimana Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Tak hanya itu, terdakwa Purwanto dan Firman juga divonis membayar restitusi pada korban Nurhadi dan saksi kunci F. Perkara ini sendiri kini dalam tahap kasasi.
Selain itu, baik Firman maupun Purwanto, hingga kini masih bertugas sebagai polisi di institusinya masing-masin. Mereka hanya dijatuhi hukuman sanksi ringan oleh Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jatim Jawa Timur, berupa teguran tertulis dan penempatan di tempat khusus selama 14 hari, pada Mei lalu.