Komnas HAM Beberkan 4 Pelanggaran HAM dalam Kasus Brigadir J
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada empat pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan Brigadir J oleh eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dkk.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan temuan pelanggaran HAM ini didasarkan proses analisa berbagai temuan faktual oleh pihaknya. Komnas HAM ikut menyelidiki kasus kematian Brigadir J secara independen.
"Didasarkan pada proses, temuan faktual, dan analisa faktual, kami beranjak pada analisa pelanggaran HAM. Ada empat poin utama analisa pelanggaran HAM," kata Beka dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (1/9).
Poin pertama adalah pelanggaran hak untuk hidup. Menurut Beka dalam kasus ini terdapat pelanggaran hak untuk hidup yang dijamin Pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Faktanya, kata dia, dalam kasus ini terdapat pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam pada 8 Juli lalu.
Kedua, hak untuk memperoleh keadilan yang dijamin dalam pasal 17 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut Komnas HAM, Brigadir J yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi, telah 'dieksekusi' tanpa melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan.
"Atau yang sering kami sebut sebagai fair trial. Seharusnya ketika ada dugaan apapun harus ada proses awal, tidak langsung dieksekusi," kata Beka.
Selain itu, menurut Beka, Putri yang diduga menjadi korban kekerasan seksual juga jadi terhambat kebebasannya untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, terlebih setelah ada skenario lokasi kejadian yang dirancang Sambo.
Dalam kasus ini Sambo awalnya menyebutkan kekerasan seksual terjadi di rumah dinasnya. Belakangan terungkap peristiwa terjadi di Magelang.
"Ini kan ada hambatan kebebasan dari Ibu PC untuk menjelaskan atau melaporkan apa yang sesungguhnya dialami. Ini lagi-lagi baru dugaan," ungkap Beka.
Ketiga, yakni obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum. Berdasarkan fakta yang ditemukan terdapat tindakan-tindakan yang diduga merupakan obstruction of justice dalam peristiwa penembakan Brigadir J.
"Tindakan dimaksud antara lain sengaja menyembunyikan dan atau melenyapkan barang bukti di saat sebelum atau sesudah proses hukum. Kedua, sengaja melakukan pengaburan fakta peristiwa," kata Beka.
"Tindakan obstruction of justice tersebut berimplikasi terhadap pemenuhan akses terhadap keadilan atau acces to justice dan kesamaan di hadapan hukum atau equality before the law yang merupakan hak konstitusional," ujarnya menambahkan.
Keempat, terjadi pelanggaran HAM terkait hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan fisik maupun mental.
"Terjadi pelanggaran hak anak, khususnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis maupun mental untuk anak-anak eks Kadiv Propam maupun saudari PC," jelas Beka.
"Artinya kita mendapat keterangan bahwa anak-anaknya FS dan PC mendapat perundungan, ancaman, cyber bullying yang kemudian menyerang di akun sosmed yang bersangkutan," ujarnya.
Beka mengatakan peristiwa pembunuhan itu tak dapat dijelaskan secara detail, karena terdapat banyak hambatan yaitu berbagai tindakan obstruction of justice. Atas dasar itu Komnas HAM pun menyatakan menyerahkan pembongkaran fakta itu semua ke pengadilan yang akan mengadili.
Komnas HAM telah menyimpulkan kematian Brigadir Yosua merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum.
Dalam kasus pembunuhan Brigadir J ini Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus (timsus) untuk mengusutnya. Komnas HAM sempat diajak ikut dalam timsus tersebut, namun lembaga itu memilih bergerak independen sesuai amanat undang-undang.
Timsus Polri dalam penyelidikan akhirnya menetapkan lima tersangka yakni Eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi. Lalu dua ajudan Sambo yakni Bripka Ricky Rizal (RR) dan Bharada Richard Eliezer (RE). Terakhir adalah asisten rumah tangga Sambo, Kuat Maruf.
(dmi/kid)