Pesan Panas Bjorka dan Misteri Nasib Dokumen TPF Munir

CNN Indonesia
Jumat, 16 Sep 2022 16:21 WIB
Munir tewas diracun di udara pada 7 September 2004. Kasusnya akan kedaluwarsa jika tak ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Ilustrasi. Aksi Kamisan menuntut kasus pembunuhan Munir dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kematian Munir Said Thalib genap berumur 18 tahun pada 7 September 2022. Aktivis hak asasi manusia (HAM) itu dibunuh di udara dengan racun arsenik dalam perjalanan dari Indonesia menuju Amsterdam, Belanda.

Penanganan kasusnya dianggap janggal, dalang pembunuhannya belum terungkap, dan dokumen penting dari Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir dinyatakan hilang sampai saat ini.

Pada 11 September 2022, hacker anonim Bjorka, menyentil kasus Munir di Twitter untuk menyegarkan ingatan publik. Ia juga menulis artikel berjudul "Who killed Munir?" di Telegraph.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cuitan Bjorka ramai ditanggapi warganet dan link tulisan "Who Killed Munir?" juga muncul di berbagai media sosial karena banyak yang membagikan.

Istri mendiang Munir, Suciwati, menganggap aksi Bjorka itu merupakan pesan penting. Melihat antusiasme warganet, Suci menilai masih banyak orang yang ingin agar kasus pembunuhan Munir diungkap.

"Orang masih terus kok bertanya tentang kasus Munir," kata Suci di kantor KontraS, Jakarta, Selasa (13/9).

Selama ini, Suci melihat tidak ada keseriusan negara untuk mengungkap kasus kejahatan tersebut. Negara, di mata Suci banyak berdalih, ketimbang beraksi nyata.

"Pemerintah ambigu, mungkin hanya bohong belaka untuk membuka kasus ini sampai ke dalangnya, dengan dalih bahwa dokumen TPF tidak ada," tutur dia.

Ada dua dokumen TPF yang hilang. Pertama, dokumen yang diserahkan TPF ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2005. Kedua, salinan dokumen yang diserahkan mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi ke Presiden Joko Widodo pada 2014.

"Apakah ada upaya selama delapan tahun itu (setelah hilang di masa Jokowi menjabat presiden)? Itu kan kalau saya melihat, saya menilai, mereka tidak bertanggung jawab menyelesaikan kasus ini," ucapnya.

Pada tahun 2016, KontraS mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan nomor register 025/IV/KIP-PS-2016 terkait dokumen tersebut. Pengadilan KIP mengabulkan permohonan KontraS dan memerintahkan Kemensesneg untuk membuka dokumen TPF.

Namun, Kemensesneg tidak membuka dokumen TPF dan melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Upaya hukum tersebut pun dimenangkan oleh Kemensesneg.

Rezim SBY dan Jokowi saling pimpong tanggung jawab atas hilangnya dokumen tersebut. Tahun lalu, Sekretaris Sekretariat Negara (Setneg) Setya Utama mengaku tak pernah menerima salinan dokumen TPF Munir dari pemerintahan SBY.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Setneg Eddy Cahyono menyebut dokumen itu tak pernah dicatat negara. Ia menyebut TPF Munir menyerahkan dokumen itu tanpa proses administrasi.

"Dokumen langsung diserahkan kepada Presiden (SBY) oleh Ketua TPF Munir tanpa melalui administrasi persuratan di Kemensetneg sehingga dokumen tersebut tidak tercatat di dalam Buku Agenda Persuratan Kemensetneg Tahun 2005," ucap Eddy lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (7/9).

Isi Dokumen TPF yang Hilang

Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti menyebut apa yang disampaikan oleh Bjorka dalam tulisan 'Who Killed Munir?' sejalan dengan dokumen TPF.

Dalam tulisannya, Bjorka menyebut sejumlah nama seperti mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Berkarya, Pollycarpus Budihari Priyanto, dan Indra Setiawan dan A.M Hendropriyono.

Nama-nama itu diduga merencanakan pembunuhan Munir. Berdasarkan catatan TPF, Muchdi dan Pollycarpus terlacak melakukan komunikasi lewat telepon sebanyak 35 kali.

"Ini bukan hal baru," kata Bivitri di Kantor KontraS, beberapa waktu lalu.

Sekretaris TPF Kasus Munir, Usman Hamid menyampaikan hal serupa. Lebih detail, Usman menjelaskan isi dokumen tersebut mengungkapkan bahwa pembunuhan Munir merupakan pemufakatan jahat yang melibatkan negera.

"Pemufakatan melibatkan pihak pihak yang berperan sebagai aktor lapangan, aktor yang mempermudah atau turut serta, aktor perencana dan aktor inisiatif atau yang memulai keputusan," kata Usman kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/9).

Dalam dokumen TPF dijelaskan bahwa pembunuhan terhadap Munir berkaitan dengan aktivismenya. Munir vokal dalam isu HAM, penculikan aktivis pada 1997-1998 oleh Tim Operasi Mawar, dan kritiknya terhadap BIN.

Sementara itu, terkait lambannya penanganan kasus Munir, Tim TPF menilai ada unsur-unsur yang menghambat. Usman berkata unsur hambatan itu bersifat non-teknis.

"Sehingga memengaruhi tingkat kesungguhan pori dalam menuntaskannya," ujarnya.

Diketahui, rekomendasi yang ditulis dalam dokumen TPF salah satunya yaitu presiden harus meneruskan komitmennya untuk mengungkap kasus Munir. Usman menyebut pemerintah bisa membentuk tim investigasi baru yang independen demi mencapai keadilan.

Rekomendasi lainnya yaitu melakukan audit terhadap keseluruhan kinerja tim penyidik atau penyelidik kasus Munir.


"Bisa dengan mengambil langkah langkah yang konkret untuk mendukung kepolisian di dalam melnjutkan penuntasan kasus munir dengan membongkar permufakatan jahat tersebut," ucap Usman.

"Termasuk dengan melakukan penyelidikan mendalam peran peran dari beberapa orang, baik dalam BIN maupun di dalam maskapai penerbagan Garuda Indonesia," imbuhnya.

Dengan hilangnya dokumen penting itu, Usman menilai pemerintah memang tidak bersunguh-sungguh berkomitmen. Padahal, kata dia, presiden berjanji akan menuntaskan kasus-kasus HAM, termasuk pembunuhan Munir.

"Itu mencerminkan tingkat kesungguhan dari pemerintah dalam menyelesaikan kasus pembunuhan terhadap Munir," ucapnya.

Menanti Nasib Kasus Munir

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER