Majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di PN Makassar, Sulawesi Selatan, tidak memerintahkan untuk menahan terdakwa, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu pada kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua.
Hakim menilai selama proses sidang, mantan perwira penghubung di Kodim Paniai ini bersikap kooperatif.
"Selama saudara bersikap kooperatif dan mau bekerja sama majelis hakim tidak akan mengambil keputusan untuk memerintahkan penahanan," kata ketua majelis hakim, Sutisna Sawati, Rabu (21/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun, apabila saudara terdakwa tidak kooperatif, maka saudara bisa saja ditahan," sambungnya.
Di tempat yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid protes atas keputusan hakim tak menahan terdakwa selama persidangan.
Menurut Usman perkara tersebut ancaman hukumannya lebih dari 10 tahun yang sesuai undang-undang perbuatan pidana di atas 5 tahun saja itu sudah harus ditahan.
"Terdakwa yang tidak ditahan, sebenarnya itu kejahatan serius. Tapi saya hormati meskipun menimbulkan pertanyaan pada publik," kata Usman di PN Makassar.
Selain itu, kata Usman, substansi pada perkara ini adalah: 'Apakah peristiwa di Paniai, Papua itu terjadi karena akibat perbuatan terdakwa?'.
"Itu saya masih (jadi pertanyaan), kita lihat lah dan itu banyak yang meragukan bahwa pelakunya adalah satu orang ini," kata Usman.
Menurutnya banyak kronologi peristiwa kekerasan HAM Paniai yang dipotong atau dihilangkan saat jaksa penuntut umum membacakan dakwaannya di dalam persidangan tersebut. Sehingga hal itu kata Usman masih diragukan jika terdakwa kasus pelanggaran HAM ini hanya satu orang.
"Banyak yang hilang kronologisnya terutama siapa yang melakukan penganiayaan terhadap anak-anak itu siapa. Itu harus dibuktikan dulu, itu menurut saya," kata dia.
Sebagai informasi, kasus HAM Paniai berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 lalu.
Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer.
Lalu, satu orang lain tewas setelah mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian.
Dalam peristiwa itu, 17 orang lainnya luka-luka. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membeberkan lima orang yang tewas bernama Otianus Gobai (18), Simon Degei (18), Yulian Yeimo (17), Abia Gobay (17) dan Alfius Youw (17). Komnas HAM menyatakan kasus itu sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Dalan kasus ini, hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian diseret ke pengadilan HAM sebagai terdakwa yaitu Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu.
Isak kala kejadian itu merupakan Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai sekaligus perwira dengan pangkat tertinggi yang mempunyai tugas mengoordinasikan kegiatan-kegiatan Danramil yang berada dalam wilayah koordinasinya termasuk Koramil 1705-02/Enarotali.
Di Peradilan HAM yang digelar di PN Makassar ini, Isak Sattu didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 dan atau Pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU Pengadilan HAM.
(mir/dal)