Sementara itu, pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyambut baik kebijakan baru mengenai syarat tinggi badan dan batas umur bagi calon taruna-taruni.
Ia menilai hal tersebut akan membuat banyak orang mendaftar.
"Dengan begitu, jika seleksi dilakukan sangat ketat sekalipun, tidak ada kekhawatiran kuota sulit dipenuhi. Dan tidak perlu ada pemberian dispensasi bagi yang kurang memenuhi syarat hanya untuk penuhi kuota," kata Fahmi melalui pesan tertulis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahmi menjelaskan kebijakan baru tersebut telah diberlakukan pada penerimaan tahun 2022 alias bukan sesuatu yang mendadak muncul setelah gaduh anak KSAD Dudung Abdurachman disebut gagal masuk Akmil lantaran masalah tahun kelahiran dan tinggi badan.
"Nah, 2023 nanti animo pendaftar sangat potensial meningkat karena syarat umur dan tinggi badan yang lebih longgar tadi," imbuhnya.
Fahmi berpendapat perubahan batas umur dan tinggi badan tidak akan memengaruhi kemampuan prajurit.
"Usia dan tinggi badan hanyalah dua dari sejumlah syarat mengikuti seleksi. Untuk benar-benar bisa diterima, ya si calon harus tetap lolos kriteria lain dan lulus dalam semua penilaian," kata Fahmi.
Ia menyatakan semua persyaratan jelas signifikan dan harus dipenuhi. Termasuk mengikuti pemeriksaan/pengujian yang diselenggarakan oleh panitia penerimaan yang meliputi: administrasi, kesehatan, jasmani, mental ideologi, dan psikologi.
Juga ada syarat belum pernah menikah dan sanggup tidak menikah selama dalam mengikuti pendidikan pertama sampai dengan dua tahun setelah selesai pendidikan pertama.
"Selain itu, terkait tinggi badan 160 cm bukan jaminan lolos. Kalau postur (tinggi dan berat badan) tidak proporsional, ya bisa enggak lolos juga," kata dia.
Fahmi tak menampik bahwa setiap kebijakan terlebih menyangkut lembaga negara adalah produk politik. Kata dia, pertimbangan atas setiap kebijakan bisa beragam.
"Sepanjang motif dan tujuannya positif, enggak ada masalah," ungkap dia.
Ia pun tak mempermasalahkan pelbagai perubahan-perubahan aturan di tubuh TNI.
"Ini jadi preseden buruk karena mudah ubah aturan? Enggak juga. Apalagi di militer," kata Fahmi.
"Mereka sudah terbiasa untuk responsif dan adaptif karena situasi dan kondisi yang dihadapi bisa sangat dinamis dari waktu ke waktu. Mau berapa kali pun perintah dikeluarkan atau dikoreksi, yang dijalankan adalah perintah terakhir," pungkasnya.