Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan lebih dari seratus orang lebih masuk ranah pidana, bukan sekedar pelanggaran etik.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan dalam insiden selepas pertandingan Arema FC vs Persebaya itu terjadi dugaan penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tragedi ini bukanlah bentuk pelanggaran etik, melainkan sudah memasuki ranah pidana karena jatuhnya korban jiwa terjadi karena penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang mana penggunaan kekuatan berlebihan tersebut dapat terprediksi dampak fatalnya ketika dilakukan ruang dengan keterbatasan akses keluar seperti stadion," kata Erasmus dalam keterangan resmi, Selasa (4/10).
Erasmus berujar penggunaan kekuatan yang berlebihan alias excessive use of power yang tak proporsional dan menyebabkan kematian sudah semestinya diusut menggunakan jalur pidana. Apalagi, Polri kini telah melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Pasal 359 dan 360 KUHP.
"Polri sendiri telah mengakui mulainya pemeriksaan pelanggaran ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP (menyebabkan kematian karena kealpaan). Pasal-pasal ini tentunya dapat digunakan, selain dengan Pasal 338 KUHP berkaitan dengan pembunuhan," ujarnya.
Erasmus juga menyinggung soal penggunaan gas air mata oleh aparat demi mengamankan situasi di Stadion Kanjuruhan. Menurutnya, penggunaan gas air mata, yang sebetulnya dilarang oleh FIFA, merupakan penyebab dari kematian penonton.
Ia menyebut polisi tidak pernah memeriksa dan mempertanggungjawabkan penggunaan kekuatan yang berlebih, baik untuk kasus ini maupun untuk kasus di masa lalu.
"Peristiwa ini harus menjadi titik balik Kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personel adalah pelanggaran kode etik," katanya.
Oleh sebab itu, Erasmus meminta Polri mengusut tuntas anggota yang telah melakukan pelanggaran. Ia juga meminta polisi mempertanggungjawabkan tindakan tersebut sesuai dengan jalur pidana, alih-alih pemeriksaan etik.
"ICJR mendorong Kepolisian untuk secara tegas mengusut anggotanya yang telah melakukan pelanggaran pidana dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan jalurnya dan bukan hanya melalui jalur pemeriksaan etik," ujarnya.
Sebelumnya, kerusuhan di Stadion Kanjuruhan terjadi usai Arema FC kalah melawan Persebaya dengan skor 2-3 pada Sabtu (1/10) malam. Para pendukung Arema yaitu Aremania kecewa dan turun ke lapangan untuk menemui tim dan ofisial.
Aksi itu pun direspons aparat dengan mengamankan pemain sekaligus ofisial kembali ke ruang ganti. Pada waktu bersamaan, aparat juga mencoba membubarkan massa di lapangan, salah satunya menggunakan gas air mata.
Gas air mata itu ditembakkan tidak hanya kepada para suporter di lapangan, tetapi juga ke arah tribun sehingga membuat massa panik. Penonton pun berlarian dan berdesak-desakan menuju pintu keluar.
Banyak di antaranya yang sesak nafas dan terinjak-injak. Setidaknya lebih dari seratus orang dilaporkan tewas akibat kerusuhan tersebut.
Sejauh ini, Mabes Polri melalui Itsus serta Propam tengah memeriksa 28 anggota yang diduga bertanggung jawab dalam penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan.
Selain itu, tim investigasi Polri juga memeriksa beberapa saksi dan pejabat terkait yang berwenang atas penyelenggaraan pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya, di antaranya yakni Direktur LIB, Ketua PSSI Jawa Timur, Ketua Panitia Penyelenggara dari Arema, hingga Kadispora Provinsi Jawa Timur.
(blq/fra)