Jakarta, CNN Indonesia --
Pegiat media sosial yang juga dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando dilaporkan ke polisi oleh suporter Arema FC, Aremania buntut pernyataannya soal Tragedi Kanjuruhan.
Dalam video yang diunggah di Youtube Cokro TV, Ade menyebut penyebab tragedi Kanjuruhan karena suporter Arema sok jagoan.
Pelapornya adalah Danny Agung Prasetyo selaku koordinator komunitas Aremania DC. Laporan itu sendiri sudah diterima Polres Malang Kota dengan nomor LP-B/474/X/ YAN.2.4/2022/SPKT/ POLRESTA MALANG KOTA/POLDA JATIM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Danny mengatakan Ade Armando telah melakukan fitnah yang keji terhadap Aremania. Dia dinilai sudah menuding suporter Singo Edan seenaknya.
"Ade sudah melakukan fitnah besar, dia menyebut bahwasanya Aremania dianggap sok petenteng, sok gaya, masuk lapangan, merusak," kata Danny saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Selasa (11/10).
Berikut pernyataan lengkap Ade soal Tragedi Kanjuruhan:
"Suporter sepakbola Indonesia ini memang keterlaluan, siapapun yang menyaksikan video-video yang kini tersebar tentang tragedi di stadion kanjuruhan, 1 Oktober lalu, pasti bisa mengenali bahwa pangkal persoalan adalah kelakuan sebagian suporter arema yang menyerbu lapangan.
Mereka sombong, bergaya preman, menantang, merusak dan menyerang. Gara-gara mereka tragedi itu terjadi.
Lucunya, Ketua Forum Komunikasi Suporter Indonesia, Richard Achmad Supriyanto buru-buru menyatakan penyebab tragedi adalah tindakan represif aparat keamanan.
Dalam surat terbukanya dia meminta DPR dan kompolnas mengevaluasi kinerja Polri. Ia juga mendesak pemerintah pusat maupun daerah agar ikut bertanggung jawab terkait tragedi tersebut. Ini aneh sih.
Hal yang sama disampaikan YLBHI, menurut LBH, jatuhnya korban yang besat itu trjadi karena penggunaan kekuatan yang berlebihan (excesive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian massa yang tidak sesuai prosedur.
LBH juga mengecam tindak represif aparat terhadap penanganan suporter, LBH mendesak Kompolnas dan Komnas HAM untuk memeriksa dugaan pelanggaran HAM, dugaan pelanggaran profesionalisme dan kinerja anggota kepolisian yang bertugas.
Terakhir LBH mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggung jawah terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka luka dalam tragedi kanjuruhan Malang.
Nampaknya ada upaya sengaja untuk mengarahkan telunjuk pada pihak kepolisian. Marilah kita bersikap objektif. Apa sih yang dimaksud dengan tindakan represif, pelanggaran profesionalisme atau bahkan pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian?
Apakah polisi memukuli suporter, menganiaya, menembaki para pendukung Arema? sama sekali tidak ada.Yang mungkin bisa dipersoalkan adalah penggunaan gas air mata.
Sebagian pihak menyatakan bahwa FIFA jelas melarang penggunaan gas air mata dalam stadion, pertanyaannya apakah polisi indonesia berada di bawah FIFA?
Ketika polisi menggunakan gas air mata itu adalah tindakan sesuai protap ketika mereka harus mengendalikan kerusuhan yang mengancam jiwa.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Memang akibat gas air mata penonton berlarian panik dan sialnya pada saat mereka hendak keluar stadion ternyata panitia belum sempat membuka pintu keluar.
Akibatnya terjadi penumpuan penonton, saling dorong, saling injak. Itulah yang menyebabkan tragedi terjadi. Pertanyaan saya apakah itu yang sisebut tindak represif dan pelanggaran HAM oleh polisi?
Sekali lagi marilah kita bersikap objektif, yang jadi pangkal masalah adalah suporter Arema yang sok jagoan, melanggar semua peraturan dalam stadion dengan gaya preman masuk ke lapangan, petentengan. Dalam pandangan saya polisi sudah melaksanakan kewajibannya.
Polisi misalnya sejak awal sudah meminta agar jadwal pertandingan dimajukan menjadi pukul 15.30, tapi pihak panitia berkukuh jam pertandingan tetap 20.00. Diduga ini terkait dengan jam tayang siaran langsung melalui televisi.
Jam 20 adalah jam siaran yang dianggap sebagai prime time, yang diminati para pengiklan.
Tentu saja ini masih perlu dipastikan, walau masuk akal. Stadion pun hanya diisi oleh suporter Arema, tidak ada kuota bagi suporter Persebaya, polisi juga sudah meminta jumlah penonton dibatasi, sesuai kapasitas stadion.
Dalam hal ini ternyata panitia ternyata nakal, kapasitas penonton hanya 38 ribu, sementara tiket yang dicetak mencapai 42 ribu. Bahkan diduga penonton yang masuk melampaui angka itu.
Jadi sebenarnya ada over capacity.
Karena itu saya merasa polisi sudah melakukan hal-hal yang diperlukan, yang jadi masalah adalah kelakuan suporter Arema memang tidak semua, menurut polisi yang menyerbu lapangan hanyalah 3 ribu orang. Tapi itu sudah cukup memporak-porandakan keadaan.
Mereka tak bisa menyaksikan timnya kalah, padahal pertandingan berlangsung dengan fair, tidak ada keputusan-keputusan wasit yang meragukan misalnya. Para pemain arema pun bermain dengan semangat, pemain Persebaya tidak main kasar. Memang cara kalahnya agak menyesakkan.
Persebaya semula sudah unggul 2-0, lalu dikejar 2-2 tapi akhirnya Persebaya bisa memasukkan satu gol lagi sehingga unggul 3-2. Ini menyakitkan karena selama 23 tahun Arema tidak pernah kalah oleh Persebaya dalam pertandingan kandang.
Tapi walau menyesakkan, ini mestinya ditanggapi dengan biasa-biasa saja, celakanya bukan itu yang terjadi. Rekaman video yang beredar menunjukkan bahwa begitu pertandingan selesai para pemain Arema dan offisial masih bertahan di tengah lapangan dengan menunduk lesu, teriakan-teriakan sudah mulai terdengar.
Bahkan ada pemain Arema yang menghaturkan permintaan maaf pada penonton. Tapi sedikit demi sedikit, suporter menerobos batas pagar dan masuk ke lapangan. Tidak terlalu jelas apa yang mereka hendak lakukan, para suporter itu semula mungkin masuk ke lapangan sekadar untuk meluapkan emosi saja.
Media mengabarkan bahwa para suporter itu minta pertanggungjawaban pemain dan offisial Arema, pertanggungjawaban apa? Saya tidak tahu.
Yang jelas mereka para pemain dan official Arema yang masih berada di lapangan. Saya tidak tahu apakah memang ada ancaman. Tapi situasi itu sudah cukup untuk kembuat polisi mengusir mereka agar kembali ke tempat
Dan pengusiran oleh polisi tentu tidak berlangsung dengan sopan santun, 'maaf mas bisa kembali ke tempat?' Misalnya. Ya polisi tentu harus menghardik dengan ancaman pentungan misalnya.
Pada awalnya semua berjalan terkendali, tapi ketika mulai terjadi benturan dengan polisi, kondisi menjadi memanas.
Lebih banyak lagi gelombang suporter yang menyerbu, mereka juga mulai melakukan tindak pelemparan ke arah polisi, polisi buru-buru menggiring para pemain Arema ke luar stadion, polisi juga mulai menyelamatkan pemain Persebaya yang ternyata mulai juga diserang penonton, sementara di dalam stadion, polisi menembakkan gas air mata.
Pada awalnya gas air mata hanya diarahkan pada mereka yang menyerbu ke tengah lapangan, tapi ketika para suporter liar itu pantang mundur, kembali dan kembali lagi, polisi mulai mengejar sampai ke pinggir lapangan. Ketika itulah tembakan gas air mata polisi sampai ke tribun penonton.
Itulah yang membuat penonton panik, mungkin mereka menyangka polisi akan mengejar mereka, mereka berlarian keluar. Tapi nahasnya mereka menemukan bahwa sejumlah pintu stadion belum terbuka, dalam kondisi itu lah tragedi saling gencet, saling injak terjadi.
Kita semua tentu prihatin, tapi pertanyaan saya: apakah polisi layak dipersalahkan? Dan jangan lupa, ada dua anggota kepolisian yang juga tewas, mungkin sekali karena dikeroyok, saya percaya polisi tidak melanggar prosedur, masalahnya ada pada kelakuan para suporter.
Organisasi seperti forum komunikasi suporter Indonesia sebaiknya memikirkan cara-cara terbaik untuk mendidik para suporter Indonesia agar beradab.
PSSI, Arema dan klub-klub lain perlu duduk sama sama untuk mencari cara untuk mengontrol keberingasan suporter, selama itu tidak dilakukan, jangan harap tindakan-tindakan brutal itu akan berhenti.
Sepak bola Indonesia sedang bangkit, dan itu akan hancur kembali karena kita tidak berhasil mendidik para suporter menjadi suporter beradab. Kematian satu suporter saja sudah terlalu banyak, apalagi 125," demikian Ade Armando