Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi mengatakan bentuk siulan bernuansa pelecehan seksual yang termuat dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tergolong delik aduan.
Dengan kata lain, proses hukum baru bisa dilakukan jika ada orang yang merasa dirugikan mengajukan laporan.
"Karenanya delik yang digunakan dalam perkara ini adalah delik aduan yaitu delik yang hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban," kata Zainut dalam keterangannya, Kamis (20/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama mengatur bentuk kekerasan seksual mencakup verbal, nonfisik, fisik, dan teknologi infomasi dan komunikasi.
Siulan termasuk dalam bentuk kekerasan seksual verbal dalam aturan tersebut. Siulan dalam PMA ini adalah yang bernuansa seronok, mengandung unsur merendahkan atau melecehkan dan mengganggu kenyamanan objek. Artinya, siulan menjadi bentuk pelecehan seksual bila diukur dari rasa kenyamanan objek.
"Apakah dia merasa nyaman atau tidak, merasa dirugikan atau tidak, merasa direndahkan martabatnya atau tidak," kata dia.
Pada Pasal 18 PMA ini, lanjut Zainut, turut mengatur tentang sanksi. Dalam ayat (1) disebutkan Pelaku yang terbukti melakukan Kekerasan Seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif.
Sementara dalam ayat (2) disebutkan Sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan atau Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Jadi pemberlakuan sanksi pidana basisnya adalah putusan pengadilan dan berlaku mekanisme hukum sebagaimana diatur undang-undang," kata dia.
(rzr/bmw)