ICW Pertanyakan Definisi Korban dalam Usul Restorative Justice Tipikor

CNN Indonesia
Sabtu, 29 Okt 2022 13:55 WIB
Peneliti mengatakan bila restorative justice diterapkan dalam kasus tipikor, maka perlu ditegaskan definisi mengenai 'siapa korban yang layak terima kerugian'?
Markas organisasi Indonesian Corruption Watch (ICW) di Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menilai mekanisme restorative justice dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang sempat diusulkan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak adalah hal yang tidak tepat.

Dia yang karib disapa Lola itu menyoroti sisi korban dalam mekanisme restorative justice. Menurut pihaknya, korban dalam restorative justice diketahui harus mendapatkan kembali hak dari kerugian yang telah diterima.

Lola berpendapat apabila restorative justice ingin diterapkan dalam penanganan tipikor di Indonesia, maka penegak hukum perlu menegaskan siapa 'korban' yang layak menerima ganti kerugian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena konstruksinya bisa macam-macam. Kalau misalnya dibilang negara kok yang kerugian. Tapi kan pajaknya rakyat yang bayar. Emang rakyat enggak kerugian?" ucap Lola kepada CNNIndonesia.com, Jumat (28/10).

"Jadi yang menjadi korban langsung dari tindak pidana korupsi itu siapa? Itu pertanyaan penting yang juga harus jelas dulu apa sebetulnya standing negara," lanjut dia.

Oleh karena itu, menurutnya, penegak hukum mestinya mengoptimalkan instrumen yang telah ada lebih dulu.

Dia mengatakan instrumen penegakan hukum terkait tipikor di Indonesia sudah diatur salah satunya dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Dengan demikian, alih-alih menggunakan pendekatan baru, penegak hukum harusnya memaksimalkan peraturan perundang-undangan yang telah ada.

"Kalau memang aim-nya atau tujuannya itu adalah memaksimalisasi pengembalian kerugian negara, (itu) udah ada instrumennya. Ya pakai dulu. Maksimalisasi aja dulu," kata Lola.

Lola menjelaskan kedua instrumen tersebut hingga kini masih sangat jarang digunakan dalam menindak kasus korupsi di Indonesia. Padahal, dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Tipikor, ada aturan soal pidana tambahan uang pengganti. Aturan itu menurutnya bisa digunakan untuk mengembalikan kerugian negara.

Adapun Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa terdakwa tipikor dapat dijatuhi pidana tambahan yakni pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

"Kemudian yang kedua Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana yang kedua ini, TPPU itu, masih jarang banget digunakan sama penegak hukum kita. Kalau dari catatan ICW di tahun 2021, dari sekitar 1300-an terdakwa, itu penegak hukum hanya menggunakan UU TPPU untuk 11 terdakwa," ucap Lola.

Minimnya penggunaan kedua instrumen tersebut, menurut Lola, tidak bisa membenarkan sikap penegak hukum yang kemudian ingin memperkenalkan pendekatan baru.

Menurutnya, kedua peraturan perundang-undangan itu harus diimplementasikan sepenuhnya untuk bisa menetapkan bahwa negara perlu atau tidak menerapkan pendekatan lain.

Selain itu, Lola juga menilai penerapan restorative justice belum bisa digunakan jika aparat penegak hukum berpendapat bahwa pendekatan itu semacam mekanisme penyelesaian di luar persidangan. Sebab, kata Lola, restorative justice tetap perlu melewati proses persidangan guna mendapat legitimasi bahwa suatu kasus bisa ditangani dengan instrumen tersebut.

"Karena kalau misalnya enggak, APH (aparat penegak hukum)nya nanti abusif. Akan seenak-enaknya mereka nentuin mana yang lewat restorative justice mana yang enggak," kata dia.

Sebelumnya, dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Johanis Tanak mengusulkan penerapan restorative justice dalam penyelesaian kasus tipikor.

Menurutnya, restorative justice bisa diterapkan bukan hanya untuk kasus-kasus tindak pidana umum, melainkan juga kasus korupsi.

Sebagai informasi, restorative justice sendiri merupakan proses penyelesaian kasus hukum pidana lewat cara alternatif, yaitu dengan dialog dan mediasi.

Mahkamah Agung (MA) menyatakan konsep restorative justice hanya bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp2,5 juta.

Menurut Johanis, melalui restorative justice nantinya pelaku tipikor juga akan dikenakan denda karena telah menghambat proses pembangunan. Sehingga uang yang harus dikembalikan bisa dua sampai tiga kali lipat dari jumlah yang dikorupsi.

Terkini, Johanis mengaku usulannya itu hanya sebatas opini. Menurutnya, pelaksanaan gagasan itu masih harus melihat aturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca halaman selanjutnya, kajian dari KPK.

KPK Kaji Restorative Justice untuk Kasus Korupsi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER