Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengklaim bukti kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 sudah tak ditemukan.
Oleh karena itu, dia menyebut penyelesaian kasus pembantaian anggota dan simpatisan PKI tersebut jadi sulit dilakukan.
"Untuk melakukan penyelesaian secara pengadilan kepada kasus-kasus HAM berat ini itu tak mudah. Tak mudahnya karena bukti-bukti sudah tidak ada. Kasus '65 itu kan buktinya sudah tidak ditemukan," kata Mahfud di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (1/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Mahfud juga menyebut para terduga pelaku pun sudah tidak ada. Menjadi sulit jika kasus itu dibawa ke pengadilan.
"Pelakunya bahkan juga yang diperkirakan bersalah itu sudah tidak ada," kata dia.
Meski demikian, Mahfud tetap menilai kasus 1965 merupakan pelanggaran HAM berat karena telah menelan banyak nyawa.
Mahfud juga bercerita Presiden Joko Widodo sempat meminta semua kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Komnas HAM dibawa ke pengadilan.
Namun, Mahfud menyebut Jaksa Agung tidak sependapat karena tak ada bukti untuk ditunjukkan di pengadilan.
"Presiden sempat bilang 'Pak sudah lah semua temuan Komnas HAM dibawa aja ke pengadilan. Biar hakim yang putuskan.' Jaksa Agung enggak mau," kata Mahfud.
"Kalau saya bawa ke pengadilan sesuatu enggak ada buktinya berarti tak profesional, malu kami kalau dibawa ke pengadilan. Karenanya berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk cocokkan bukti," tambahnya.
Melihat rentetan problem itu, Mahfud lantas menilai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lebih baik diupayakan lewat nonyudisial.
Akan tetapi, jalur yudisial juga tetap ditempuh oleh Komnas HAM, Jaksa Agung hingga DPR untuk menyelesaikan kasus ini.
"Yang yudisial tetap jalan biar Komnas HAM, DPR dan Jaksa Agung terus bekerja. Kita tak akan menutup kasus. Kasus misalnya Mei 98 di Trisakti 1 dan 2, masih masuk. Biar Komnas HAM," kata Mahfud.
(rzr/bmw)