Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta didukung C40 Cities Climate Leadership Group, International Tranport Workers Ferderation (ITF), dan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) mengusung kampanye The Future is Public Transportation (FiPT) pada 2022.
Kampanye kolaborasi tersebut menjadi salah satu terobosan Pemprov DKI mengatasi tantangan transportasi, di mana komitmen itu berangkat dari kesadaran akan kebutuhan transportasi bagi 11 juta warga, juga sejumlah populasi lain menuju dan kembali dari wilayah penyangga sekitar Jakarta.
Ditegaskan, integrasi merupakan inti pembenahan transportasi umum di Jakarta dengan salah satu implementasi berupa Jaklingko. Jaklingko yang menyatukan sistem yang sebelumnya terpisah, baik dari sisi pengaturan rute, pengelolaan, dan pembayaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui kerja sama dengan pengelola kendaraan umum yang lebih kecil dan mikro untuk terkoneksi dengan armada yang lebih besar yang dikelola oleh Pemprov DKI, sistem pembayaran pun menjadi lebih efisien dan terjangkau, yakni dengan single tap dan penetapan tarif yang terjangkau.
Adapun infrastruktur pendukung seperti jembatan penyeberangan dan halte dengan standar aksesibilitas bagi lansia dan disabilitas menjadi bagian dari sistem pendukung integrasi tersebut.
Tak sampai di sana, Pemprov DKI juga mengelola Bus Rapid Transit (BRT) dan Mass Rapid Transit (MRT). BRT sebagai sistem pertama di Asia Tenggara telah beroperasi sejak 2004, memiliki jalur lintas 251,2 km dengan 260 halte di 13 koridor. Sedangkan pada fase 1, MRT membentang sepanjang 11,8 km dari kawasan Bundaran HI hingga Ancol Barat, setelah sebelumnya beroperasi sejak 2019 sepanjang 16 km dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI.
Tahun ini, PT Transjakarta tengah merealisasikan 74 bis listrik di luar 30 bus listrik yang telah beroperasi, dengan target 100 persen bis listrik pada 2030. Dari sisi target keterjangkauan jarak, visi Kota Jakarta pada 2022 adalah jarak akses angkutan umum terjauh hanya 500 meter terhadap 95 persen tempat tinggal. Selain itu, Lintas Rel Terpadu (LRT) juga dipersiapkan beroperasi pada 2023.
Pembenahan sistem transportasi umum yang dilakukan Pemprov DKI menghasilkan kemajuan positif. Pada 2021, Jakarta menempati posisi 46 dunia terkait kemacetan jalan. Peringkat ini jauh bergeser dari posisi termacet ketiga pada 2017.
Indikator aksi mitigasi sub-sektor transportasi pun meningkat setelah 2017. Capaian terbesar adalah peralihan moda menjadi transportasi publik, yakni BRT, MRT, dan KRL (DLH, 2022). Jakarta sendiri menargetkan pengurangan emisi GRK 30 persen pada 2030, di mana hingga 2022 telah mencapai 26 persen dari target.
Target untuk menjangkau lebih banyak pengguna menjadi pekerjaan rumah Pemprov DKI demi mencapai 4 juta penumpang per hari. Pada 2020, pengguna kendaraan umum mencapai 1 juta per hari, dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencapai 350 ribu penumpang per hari. Pada 2029, diharapkan 60 persen pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum.
Kampanye FiTP untuk Kesejahteraan Warga Jakarta
FiPT merupakan kampanye bersama guna mewujudkan transisi angkutan umum yang berkeadilan di Jakarta. Kampanye itu sekaligus sebagai respons atas emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi yang menyumbang 47 persen dari total emisi di Jakarta, kebanyakan bersumber dari pembakaran bahan bakar minyak kendaraan, termasuk kendaraan pribadi.
Emisi kendaraan bermotor menyebabkan konsentrasi gas di atmosfir, terutama CO2. Selain menyebabkan perubahan iklim dalam jangka panjang, konsentrasi CO2 yang melampaui 3 persen dalam ambien udara akan menyebabkan masalah kesehatan, seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut, pneumonia, dan gangguan fungsi paru-paru.
Organisasi kesehatan WHO pun mengaitkan penyakit jangka panjang seperti kanker paru dan gangguan cardiovaskular dengan polusi udara.
Selain itu, kemacetan yang terjadi akibat penggunaan kendaraan pribadi menyebabkan biaya ekonomi dan sosial berlipat, dari lebih banyak konsumsi bahan bakar hingga waktu tempuh yang lebih panjang. World Bank menyebut, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta pada 2019 mencapai Rp36 miliar per tahun (2019).
Sementara dalam jangka lebih panjang, perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi lingkungan yang dihadapi oleh perkotaan dan dunia.
Studi pemodelan C40 menunjukkan, jika setiap kota konsisten melakukan ekspansi dan elektrifikasi angkutan umum, akan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja baru antara 2021-2030. Tak hanya bersumber dari lapangan pekerjaan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan angkutan umum, peluang itu juga berasal dari stimulus yang mendorong geliat ekonomi seperti perdagangan, jasa, dan yang bersifat rekreasional dari hadirnya angkutan umum.
Milag San-Jose Ballesteros, Direktur Regional ESEAO C40 menekankan bahwa "transportasi publik dapat menghasilkan sarana penghidupan bagi penduduk kota, misalnya, untuk C40 saja, kami mengedepankan untuk dapat menghasilkan sekitar 4,6 juta pekerjaan yang baik di kota-kota C40 hanya dengan melalui peningkatan investasi sektor transportasi publik."
Untuk itu, angkutan umum menjadi solusi mengatasi keniscayaan perkembangan kota dan memenuhi tuntutan kebutuhan mobilitas warga.
(inh)