Santri asal Kedunggalar Ngawi, Jawa Timur berinisial DW meninggal dunia di salah satu pondok pesantren di Sragen, Jawa Tengah. Keluarga curiga korban tewas karena dianiaya senior.
Kecurigaan orang tua DW, Dwi Minto Waluyo bermula ketika pihak pesantren yang datang membawa kabar duka justru menanyakan riwayat sakit korban pada Minggu (20/11). Padahal korban dijenguk dua hari sebelumnya. Kala itu, korban dalam keadaan sehat.
Dugaan keluarga soal korban tewas makin kuat ketika melihat tanda luka lebam pada tubuh korban. Selain itu, pihak keluarga korban mengaku mendapat keterangan dari santri lain terkait DW yang sempat dipukuli santri senior.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa ini terjadi Pondok Pesantren Putra Ta'mirul Islam, Masaran, Sragen. DW sempat dibawa ke klinik usai dipukuli namun nyawanya tidak tertolong.
"Katanya kejadiannya itu dari pemukulan kakak seniornya. Kesalahan katanya, punya kesalahan. Padahal anak saya itu baik, kok sampai digitukan," ujar orang tua DW, Dwi Minto Waluyo kepada CNNIndonesia TV, dikutip Selasa (22/11).
"Dipukul itu sampai terkapar, katanya itu ditolong ndak boleh, dibiarkan begitu saja. Disaksikan adiknya itu waktu pemukulan itu, disaksikan teman-temannya di kampus itu. Tidak ada (yang berani menolong)," jelas Dwi.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren) Kementerian Agama (Kemenag) Waryono membenarkan kabar duka ini.
Korban yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur itu diduga dianiaya kakak tingkatnya karena tidak menjalankan tugas piket.
"Kami sudah dapat info dan kami sangat menyesalkan dan turut prihatin," katanya saat ditemui di Balai Kota Solo.
Waryono mengakui korban dihukum karena tidak mengerjakan tugas piket. DWW kemudian dianiaya kakak tingkatnya hingga meninggal dunia di ponpes.
"Sudah teridentifikasi bahwa ada hukuman yang kurang pas," katanya.
Ia menegaskan Kemenag telah berulang kali mengimbau kepada pengelola ponpes untuk tidak lagi menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan santri. Menurutnya, hukuman fisik sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
"Kalau pun misalnya disebut hukuman itu ya ngafalkan kitab. Itu jelas manfaatnya, yang tadinya enggak sadar kan kemudian tersadarkan," katanya.
Saat ini, Kemenag telah mengetahui pelaku penganiayaan tersebut. Waryono mengatakan pihaknya menyerahkan kasus tersebut kepada aparat penegak hukum.
"Kami serahkan kepada aparat hukum. Karena sudah diketahui juga siapa pelakunya," katanya.
Akhir-akhir ini, kekerasan fisik maupun seksual di pondok pesantren banyak diberitakan di media massa. Waryono mengklaim jumlah tersebut relatif kecil jika dibanding jumlah pondok pesantren yang ada di Indonesia. Sayangnya, ia enggan menyebutkan jumlah kasus kekerasan di pondok pesantren sepanjang 2022.
"Saya enggak mau menyebut. Enggak enak, nanti dikira banyak. Padahal sebenarnya nggak banyak kalau dibanding jumlah lembaganya," katanya.
Kendati demikian, ia tetap mendorong agar lembaga pondok pesantren terus melakukan perbaikan internal sehingga kekerasan fisik maupun seksual dapat dihindari sepenuhnya.
"Tapi kita tetap prihatin, jangan sampai terjadi karena ini kan lembaga pendidikan. Kalau bisa zero," katanya.
(ocd/pop/wis)