
Hakim Cecar Pembangunan SMP dan Alasan ACT Kelola Dana Boeing

Pembangunan sekolah terhenti setelah terungkap kasus penggelapan dana ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang melibatkan tiga eks petinggi yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Hal itu dikatakan oleh saksi sekaligus pekerja proyek CV Graha Anggun Abadi yang merupakan vendor proyek ACT, Angga dalam persidangan dengan terdakwa eks Presiden Yayasan ACT Ahyudin di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (22/11).
"Ya terhenti, berhenti Yang Mulia. (Sampai tahap) pembangunannya sekarang sudah prosesnya 80 persen Yang Mulia," kata Angga.
Angga mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan anggaran sebesar Rp1,56 miliar dari dana sosial Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang dikelola oleh ACT.
Padahal, dana BCIF dari Boeing yang diperuntukkan untuk membangun fasilitas pendidikan untuk masing-masing ahli waris sebesar US$144.320 atau senilai Rp2 miliar.
"Rp1,569 miliar RAB (rencana anggaran biaya). Itu fokusnya untuk bangunan fisiknya Yang Mulia," ujarnya.
Berdasarkan surat dakwaan, pembangunan yang dilakukan oleh CV Graha Anggun Abadi salah satunya terkait pembangunan Aisyiyah Bumirejo Primary School, yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah, dengan total biaya Rp2.037.450.000 (US$144.500).
Jaksa Cecar Penunjukan ACT Kelola Dana Boeing
Dalam sidang kasus ini jaksa juga bertanya kepada mantan karyawan Yayasan ACT Mohammad Faisol Amrullah terkait proses penunjukan yayasan tersebut untuk mengelola dana Boeing Community Investment Fund (BCIF).
Dana itu diberikan The Boeing Company (Boeing) kepada 189 ahli waris atau keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 2018 lalu.
"ACT tahu dari mana ada dana BCIF?" tanya jaksa dalam sidang lanjutan dengan terdakwa eks Presiden Yayasan ACT Ahyudin di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (22/11).
"[Email] dari Feinberg [Administrator dari BCIF]," jawab Faisol.
Faisol menuturkan isi email tersebut berisikan bahwa Yayasan ACT telah direkomendasikan sejumlah ahli waris untuk mengelola dana BCIF.
Jaksa lantas mencecar Faisol perihal awal mula rekomendasi ahli waris dimaksud. Menurut Faisol, di masa awal ada dua ahli waris yang memberi rekomendasi, kemudian berkembang menjadi sembilan hingga 60 ahli waris.
Jaksa heran karena banyak ahli waris yang tiba-tiba merekomendasikan Yayasan ACT untuk mengelola dana BCIF.
"Yang saya tanyakan kok bisa bertambah, apakah ahli waris menunjuk ACT atau ACT yang menghubungi ahli waris atau Feinberg yang hubungi ACT. Kan saksi yang berhubungan dengan Feinberg?" kata jaksa.
"Ahli waris yang memilih ACT," ucap Faisol.
"Tahu dari mana?" sahut jaksa.
"Ada email," tandasnya.
Mendengar jawaban itu, jaksa lantas mengingatkan Faisol bahwa sudah disumpah sebelum memberikan kesaksian.
Jaksa pun membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Faisol yang mengungkapkan email berisikan Yayasan ACT menerima US$9.826.000 untuk program BCIF.
"Saya tanyakan apakah dia [BCIF] langsung yang menunjuk ACT atau ACT yang cari ahli waris?," cecar jaksa.
"Saya tidak berhubungan dengan itu," aku Faisol.
Sebagai informasi, Ahyudin didakwa telah menggelapkan dana ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang diberikan oleh perusahaan Boeing sebesar Rp117,98 miliar.
Tindakan itu ia lakukan bersama-sama dengan Ibnu Khajar selaku Presiden ACT periode 2019-2022 dan Hariyana Hermain selaku Senior Vice President dan Anggota Dewan Presidium ACT.
Perkara bermula ketika pada 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta. Kejadian itu mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
Atas peristiwa itu, Boeing menyediakan dana sebesar US$25 juta sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610.
Selain itu, Boeing juga memberikan dana sebesar US$25 juta sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan.
Dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, tetapi diterima oleh organisasi amal atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
Sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari perusahaan Boeing yaitu masing-masing ahli waris memperoleh dana sebesar US$144.320 atau senilai Rp2 miliar (kurs Rp14.000,-).
Santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri. Selain itu, ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF dari perusahaan Boeing yang selanjutnya secara aktif pihak Yayasan ACT menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan ACT telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari perusahaan Boeing untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari perusahaan Boeing.
Keluarga korban diminta untuk merekomendasikan Yayasan ACT kepada pihak perusahaan Boeing serta diminta untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan yang harus dikirim melalui email ke perusahaan Boeing.
Hal itu bertujuan agar dana sosial/BCIF tersebut dapat dicairkan oleh pihak Yayasan ACT dan dikelola oleh Yayasan ACT untuk pembangunan fasilitas sosial.
"Bahwa terdakwa Ahyudin bersama dengan Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp117.982.530.997 di luar dari peruntukannya," ujar jaksa dalam surat dakwaan.
"Yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak perusahaan Boeing sendiri," sambungnya.
Atas perbuatannya, Ahyudin, Ibnu dan Hariyana didakwa melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 372 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[Gambas:Video CNN]