KUHP baru mengatur ketentuan hubungan seks di luar pernikahan. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 413 ayat (1) bagian keempat tentang Perzinaan.
Dalam beleid tersebut, orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara satu tahun.
"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi pasal 413 ayat (1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan. Aturan itu mengatur pihak yang dapat mengadukan yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Lalu, orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
KUHP baru juga mengancam pidana hingga 4 tahun bagi seseorang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis, marxisme, dan leninisme.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara. Pada ayat 1 Pasal 188 berbunyi:
"Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
Pada ayat berikutnya, ancaman pidana bisa bertambah hingga tujuh tahun jika tindakan penyebaran ajaran tersebut dilakukan dengan tujuan mengganti Pancasila sebagai dasar negara.
Ancaman pidana terhadap pelaku penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme bisa terus bertambah hingga 15 tahun jika mengakibatkan kerusuhan, dan mengakibatkan kematian orang lain.
Ketentuan itu dituangkan dalam pasal 252 ayat (1). Ancaman hukuman pidana bagi pelaku santet mencapai 1,5 tahun.
"Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal tersebut.
Hukuman menjadi lebih berat jika pelaku menjadikan santet sebagai mata pencaharian. KUHP baru menambah hukuman penjara 1/3 dari hukuman semula.
KUHP baru mengatur pidana untuk orang yang dianggap telah melakukan vandalisme dengan mencoret-coret dinding. Dalam KUHP baru, vandalisme dimasukan ke dalam bentuk kenakalan.
Pidana terkait kenakalan diatur dalam Pasal 331. Dalam pasal tersebut dijelaskan pelaku kenakalan dapat dipidana denda kategori II atau sebanyak Rp10 juta.
"Setiap Orang yang di tempat umum melakukan kenakalan terhadap orang atau Barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, atau kesusahan, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II," demikian bunyi Pasal 331.
Pada bagian penjelasan, contoh kenakalan yang dimaksud yakni mencoret-coret tembok di jalan umum.
Aturan tentang hukuman mati masih tercantum dalam draf KUHP baru. Pidana mati di KUHP baru diatur di Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, serta Pasal 102.
Pasal 67 berbunyi, "Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif."
"Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat," demikian Pasal 98 KUHP baru.
Draf KUHP baru juga mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman mati. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 99. Kemudian pasal 100 mengatur terkait hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun.
Koalisi masyarakat sipil menilai dengan atau tanpa ketentuan masa percobaan, hukuman mati harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan prinsip HAM.
KUHP baru juga mengatur soal tindak pidana terhadap hak asasi manusia (HAM) berat. Padahal, tindak pidana itu telah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM karena bersifat khusus.
Pada Pasal 598 KUHP baru, pelaku genosida atau memusnahkan golongan tertentu dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20.
Adapun genosida yang dimaksud dapat berbentuk:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;
d. memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa Anak dari kelompok ke kelompok lain.
"Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun," bunyi penggalan pasal tersebut.
Pasal ini dikritisi karena dianggap mengurangi kekhususan pada kasus pelanggaran HAM berat dan dapat menghambat penuntasannya.
KUHP baru mengatur tentang aturan hukum adat atau living law. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 2 dan 595.
Pada Pasal 2 ayat 1 dijelaskan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Kemudian Pasal 2 ayat 2 dijelaskan: Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
ICJR menilai living law berisiko dijadikan alasan oleh aparat dalam melakukan penghukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (adat).