
Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM Kasus Paniai Belum Digaji, MA Buka Suara

Mahkamah Agung (MA) menyatakan gaji hakim ad hoc pelanggaran HAM berat yang mengadili kasus Paniai berdarah belum cair lantaran Peraturan Presiden (Perpres) belum terbit.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengklaim Perpres soal gaji hakim ad hoc pelanggaran HAM berat segera keluar dalam waktu dekat.
"Kami perlu menjelaskan bahwa keterlambatan pembayaran uang kehormatan para hakim ad hoc HAM Makassar disebabkan lantaran menunggu Perpresnya yang belum turun, namun setelah dicek alhamdulillah sebentar lagi turun," ujar Andi kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (9/12).
Andi mengklaim MA sudah mengantisipasi sembari menunggu Perpres dimaksud terbit. MA, terang dia, sudah memberi penjelasan dalam rapat dengan para hakim ad hoc Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar melalui zoom.
"Keterlambatan itu dapat dipahami," kata dia.
Sebelumnya, Komnas HAM mempertanyakan komitmen pemerintah karena belum memberikan gaji kepada para hakim ad hoc PN Makassar selama mengadili kasus Paniai berdarah.
"Hakim ad hoc pengadilan HAM, hak-hak keuangannya belum dipenuhi. Setelah mereka bekerja sekian bulan, gajinya belum dapat. Kita mempertanyakan juga keseriusan dukungan pemerintah terhadap proses peradilan ini," kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai.
Perkara nomor: 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN Mks (kasus Paniai) diadili oleh Sutisna Sawati sebagai ketua majelis, dengan didampingi Abdul Rahman Karim, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu dan Sofi Rahma Dewi masing-masing sebagai hakim anggota.
Sutisna dan Abdul Rahman merupakan hakim karier, sedangkan sisanya merupakan hakim ad hoc pada PN Makassar.
Paniai berdarah merupakan insiden yang terjadi pada 8 Desember 2014. Saat itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.
Empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Sementara, satu orang lain tewas usai mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian.
Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu yang diseret ke pengadilan sebagai satu-satunya terdakwa divonis bebas oleh majelis hakim pengadilan HAM pada PN Makassar. Hakim menilai tidak ada unsur pertanggungjawaban komando yang dapat dibuktikan.
(ryn/wis)[Gambas:Video CNN]