Keluarga korban pelanggaran HAM berat Paniai mengaku kecewa dengan hasil majelis hakim yang menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus pelanggaran HAM Paniai, Papua, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
Pendamping korban Yones Douw menyebut vonis itu melegitimasi kepesimistisan keluarga untuk mendapatkan keadilan lewat pengadilan HAM berat tersebut. Sedari awal Jaksa Agung menetapkan satu terdakwa dan saat kemarin, Kamis (8/12), pengadilan memvonisnya bebas.
"Kami keluarga korban empat siswa dan 17 orang luka-luka menolak sejak jaksa agung menetapkan satu tersangka itu dengan alasan satu tersangka maka putus pengadilan terakhir nanti dibebaskan. Dugaan kami itu menjadi kenyataan sekarang," kata Yones dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yones menyebut sejak awal proses pengadilan dilakukan minim partisipasi keluarga korban dan saksi sipil. Menurutnya, pengadilan tidak berpihak pada korban. Oleh sebab itu, keluarga menolak menyaksikan pengadilan tersebut.
"Menolak mengawal dan menyaksikan pengadilan kasus Paniai di Makassar sebab dari awal proses tidak memihak kepada korban," ujarnya.
Yones menegaskan proses pengusutan pelanggaran HAM berat Paniai belum bisa dibilang tuntas, meskipun pengadilan telah digelar.
Keluarga korban menuntut adanya penyelidikan ulang. Dengan begitu, dia berharap semua aktor yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan tersebut dapat diseret ke jalur hukum dan diadili.
"Kasus pelanggaran HAM berat Paniai belum di selesai oleh Indonesia secara adil dan jujur bagi keluarga korban dan korban," tutur dia.
"Kami keluarga korban dan korban luka2 tetap menuntut kepada Negara Indonesia kasus pelanggaran HAM berat Paniai harus melakukan penyelidikan ulang atau membuka dokumen ulang," imbuhnya.
Sebelumnya, Majelis hakim pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus pelanggaran HAM Paniai, Papua, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
Majelis hakim dalam pembacaan amar putusannya memperhatikan Pasal 191 ayat (1) KUHP Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHP, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang HAM dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
"Mengadili menyatakan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan pertama dan kedua," kata Ketua Majelis Hakim HAM, Sutisna, Kamis (8/12).
Sebagai informasi, Paniai berdarah merupakan insiden yang terjadi pada 8 Desember 2014. Saat itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.
Empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Sementara, satu orang lain tewas usai mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian.
Dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM disebutkan beberapa terduga dalam peristiwa tersebut. Mereka adalah;
1. Komandan Timsus Yonif 753/AVT pada saat Peristiwa Paniai ter-jadi tanggal 7-8 Desember 2014
2. Anggota Yonif 753/AVT pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
3. Perwira Penghubung (Pabung) Paniai pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
4. Komandan Batalyon (Danyon) 753/ AVT pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014 s/d Juli 2016
5. Komandan Kompi (Danki) 753/ AVT pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
6. Komandan Timsus Yonif 753/AVT pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
7. Komandan Polisi Militer (POM) Nabire pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
8. Komandan Koramil (Danramil) pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
9. Anggota Koramil Enarotali pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
10. Anggota Yonif 753/AVT pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014
(yla/isn)