Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti temuan kasus polio tipe dua di Kabupaten Pidie, Aceh, yang teridentifikasi awal November 2022.
Sorotan itu tercantum dalam rilis WHO, Disease Outbreak News (DONs). DONs itu bertajuk 'Circulating vaccine-derived poliovirus type 2 (cVDPV2)-Indonesia'.
"WHO menilai risiko tinggi di tingkat nasional karena rendahnya cakupan vaksinasi polio di Aceh dan provinsi lain di Indonesia," tulis WHO dikutip CNNIndonesi.com dari situs resmi, Rabu (21/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
WHO menyebut kerentanan populasi terhadap virus polio tipe dua terjadi setelah masa peralihan vaksin polio oral trivalen (tOVP) ke bOPV pada April 2016. Selain itu, Polio juga disebabkan serapan vaksin polio inaktif (IPV) yang rendah, kapasitas pengawasan yang kurang optimal, dan keragu-raguan vaksin di antara populasi berisiko.
"Deteksi cVDPV menyoroti pentingnya mempertahankan tingkat cakupan vaksinasi rutin yang tinggi di mana pun untuk meminimalkan risiko dan konsekuensi peredaran virus polio apa pun, serta kebutuhan untuk memastikan pengawasan berkualitas untuk deteksi dini virus polio apa pun," lanjut WHO.
Lihat Juga : |
DONs diterbitkan WHO berkaitan dengan peristiwa kesehatan masyarakat yang dikonfirmasi atau potensial.
Pertama, karena penyebab penyakit yang tidak diketahui dengan masalah kesehatan internasional yang signifikan atau potensial yang dapat mempengaruhi perjalanan atau perdagangan internasional.
Kedua, penyakit dengan penyebab yang diketahui dan telah menunjukkan kemampuan untuk menyebabkan dampak kesehatan masyarakat yang serius dan menyebar secara internasional.
Ketiga, kekhawatiran publik yang tinggi yang dapat menyebabkan gangguan intervensi kesehatan masyarakat atau dapat mengganggu perjalanan atau perdagangan internasional. Dalam DONs WHO yang diterbitkan pada Senin (19/12) itu, WHO menyatakan risiko penilaian atas temuan Polio di Indonesia masuk risiko tinggi.
Terpisah, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama menyebut terdapat setidaknya dua alasan mengapa penyakit polio disebut sudah bersirkulasi dan menular di masyarakat.
Pertama, karena ada beberapa kasus yang sampelnya diperiksa, ternyata saling berhubungan secara genetik. Kedua, hasil dari laboratorium sekuensing dari Biofarma menunjukkan perubahan 25 nukleotida untuk pasien dengan kasus lumpuh layu serta perubahan nukleotida 25 dan 26 pada kasus yang tidak bergejala alias asimtomatik.
"Yang menarik dan perlu segera ditindaklanjuti, setidaknya melalui diplomasi kesehatan internasional, adalah anjuran WHO yang tertulis dalam 'WHO advice' di dokumen tentang Indonesia dua hari yang lalu ini, setidaknya dalam dua hal," kata Tjandra kepada CNNIndonesia.com, Rabu.
Tjandra mengatakan secara jelas WHO menyebutkan berdasarkan rekomendasi dalam pernyataan PHEIC bahwa negara yang menemukan kasus importasi cVDPV2 dan sudah bersirkulasi dalam bentuk transmisi lokal, maka mereka harus melakukan sejumlah 'pergerakan'.
Di antaranya menyatakan KLB sebagai masalah kegawatan kesehatan nasional, kemudian menganjurkan warga untuk mendapatkan vaksin polio injeksi atau IPV pada empat pekan hingga 12 bulan sebelum bepergian ke luar negeri.
"Sekali lagi, resmi dipublikasikannya KLB polio kita di dalam DONs WHO pada dua hari yang lalu, maka berbagai kemungkinan dampaknya perlu diantisipasi sejak hari-hari ini," ujar Tjandra.
"Dan potensi yang merugikan perlu dicegah agar jangan sampai terjadi. Artinya, penanganan epidemiologi di lapangan perlu berjalan bersama diplomasi kesehatan internasional," imbuhnya.
Terkait temuan kasus polio di Aceh, pemerintah lewat Kemenkes telah menggalakkan kembali imunisasi dini. Salah satu yang menjadi target adalah Aceh, khususnya Pidie.