Sukacita Natal di Cilegon, Kota Tanpa Gereja
Pendeta Paul Kristiyono sibuk menyalami orang-orang yang masuk bergantian ke sebuah gedung tingkat berkelir biru. Berkemeja merah, wajah Paul terlihat semringah menyambut orang-orang yang hendak beribadah Natal, Minggu (25/12).
Di sekitar Paul, sejumlah aparat polisi berjaga. Beberapa di bagian halaman gedung, beberapa lainnya di luar.
Gedung itu terletak di Citangkil, Kota Cilegon, Banten. Lokasinya berada di dalam area permukiman, berdampingan dengan rumah warga. Tak ada plang penanda apa pun di gedung yang dikelilingi pagar itu.
Waktu menunjukkan pukul 09.20 WIB saat Paul ikut masuk ke dalam gedung. Melewati barisan orang yang duduk, ia langsung menuju panggung.
"Ibadah akan kita mulai, selamat Natal," kata dia.
Paul adalah seorang Gembala Gereja Baptis. Bersama dengan puluhan jemaat, hari itu mereka akan melakukan ibadah yang bertepatan dengan perayaan Natal.
Baik Paul maupun jemaat menyebut gedung itu sebagai Rumah Doa Cilegon. Ya, bukan gereja, tapi rumah doa.
Cerita panjang soal penolakan, demo hingga izin pendirian gereja yang tak kunjung turun, menjadi latar belakang diberikannya nama itu.
Di Cilegon, polemik soal pendirian gereja bukan hanya dirasakan oleh jemaat gereja baptis. Akibatnya, hingga tahun ini belum ada satu pun gereja yang berdiri di Cilegon.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon 2021, ada 381 masjid dan 387 musala di Kota Cilegon. Namun, tak ada satu pun gereja, pura hingga vihara.
Hari itu, ibadah Natal berlangsung lebih dari sejam. Kidung pujian terdengar, jemaat khidmat, hingga khotbah menggema.
Saat ibadah rampung, Rumah Doa bukannya jadi sepi, yang ada malah bertambah ramai. Ibu-ibu dan anak-anak warga sekitar beramai-ramai masuk ke halaman Rumah Doa.
Di halaman, gerobak makanan mulai dari bakso, siomay hingga cendol telah disiapkan.
"Makan dulu, bu," kata Paul ke rombongan ibu-ibu berkerudung yang masuk ke halaman.
Rombongan jemaat dan warga sekitar berbaur di halaman Rumah Doa pagi itu. Mereka bercengkerama dan makan bersama.
Selepas makan, warga menukar kupon yang diberikan kepada mereka dengan sembako berisi beras, minyak, gula hingga mi instan. Mereka pulang membawa tentengan.
Tak sedikit dari mereka yang menyapa Paul sebelum beranjak dari rumah doa.
"Makasih, pak," kata seorang ibu.
"Kalau masih ada kuponnya, saya boleh minta satu lagi, pak," timpal ibu lainnya.
Simak cerita selengkapnya di halaman berikutnya..