Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) secara resmi menyerahkan hasil laporan dan rekomendasi soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu kepada Presiden Joko Widodo.
Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono menyerahkan laporan tersebut melalui Menko Polhukam Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (29/9).
"Saya hari ini ingin sampaikan kepada pemerintah laporan kerja kami yang kita lakukan sejak ditandatangani Keppres Nomor 17 Tahun 2022," kata Makarim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makarim menjelaskan tim ini telah merampungkan tiga tugas. Di antaranya mengungkap pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua, menyusun rekomendasi pemulihan korban dan terakhir menyusun agar pelanggaran HAM berat tak terjadi lagi di masa depan.
"Kami susun ini dalam sebuah buku," kata dia.
Makarim berujar kerja serupa tim PPHAM dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat sebenarnya juga pernah dilakukan di negara lain.
Ia mencontohkan negara Chile yang membentuk komisi khusus untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu di negara tersebut.
Ketika laporan selesai dibuat, lanjut dia, tim itu lantas menyerahkan kepada Presiden Chile. Presiden Chile kemudian membukanya ke publik dan memberikan pandangannya.
"Kami sampaikan dua hal. Laporan mengenai hasil tim PPHAM. Kedua adalah usulan dari tim PPHAM kepada Presiden agar bisa membuat pernyataan mengenai pelanggaran HAM masa lalu," kata dia.
Di tempat yang sama, Mahfud menegaskan tim PPHAM tak bertugas untuk mencari siapa yang salah dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tugas tim PPHAM, kata Mahfud, salah satunya menangani dan memulihkan para korban.
"Tim ini tak cari siapa yang salah karena menyantuni dan menangani korban untuk dipulihkan secara sosial, politis, sosiologis dan sebagainya," ujar Mahfud.
Mahfud mengungkapkan tim ini berjalan untuk mencari kemungkinan dari berbagai ketidakmungkinan yang ada dalam pengungkapan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia mengatakan masih banyak kendala yang dihadapi tim PPHAM.
Salah satu kendalanya, lanjut dia, lantaran tidak ada ketersediaan data yang komprehensif mengenai korban. Mahfud merinci Komnas HAM sudah memberikan data korban namun kurang lengkap.
"Ada yang bilang korbannya kok cuma sekian, menurut laporan Komnas HAM padahal masih banyak. Dan dicari lagi oleh tim ini. Data yang ada seringkali merupakan data yang terdistorsi dan sudah ditafsirkan berbagai opini. Nah ini digali lagi di mana yang benar," kata dia.
Tak hanya itu, Mahfud mengungkapkan di masa lalu masih ada lembaga yang tertutup untuk memberikan data. Padahal, data yang dimiliki lembaga itu berguna sebagai data pembanding. Hal ini terjadi lantaran pada masa lalu belum ada Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi.
Masalah lain, lanjut Mahfud, datang dari para korban yang sulit percaya kepada kinerja pemerintah dalam penyelesaian kasus HAM. Ia mengatakan negara kerap dicap banyak bicara namun tak kunjung menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Ia juga mengatakan para korban masih sensitif untuk membahas soal pelanggaran HAM karena pendampingan negara yang kurang memadai.
"Misalnya korban Petrus. Anaknya itu sudah banyak jadi direktur, pegawai negeri sudah bagus gitu. Kalau ini diungkap, mereka 'lho saya ini ternyata anaknya preman, cucu saya nanti kena', atau 'anak saya sudah mau dilamar oleh kolonel kalau diungkap bahwa kakeknya adalah terbunuh petrus malah malu'. Nah ini juga digali, didiskusikan agar kendala-kendala psikologis seperti itu tidak muncul," kata dia.
(rzr/wis)