Saat pandemo Covid-19 pertama kali melanda, pemerintah merespona dengan penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Perppu itu menjadi payung hukum pemerintah dalam mengelola anggaran negara untuk penanganan pandemi.
Perppu itu dikritik sejumlah pihak karena kelonggaran yang diberikan kepada pemerintah. Pemerintah tak bisa diproses hukum jika menimbulkan kerugian selama menggunakan anggaran untuk penanganan pandemi.
Jokowi ngotot menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak saat pandemi Covid-19 masih melanda. Dia menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang kemudian menjadi UU Pilkada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah tetap menggelar pilkada di tengah pandemi. Pemilihan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan. Tambahan anggaran Rp5 triliun digelontorkan pemerintah.
Saat itu, dua keluarga Jokowi menang dalam pilkada. Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo, sedangkan Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan.
Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2022 untuk mempersiapkan Pemilu Serentak 2024.
Awalnya, perppu itu dibuat untuk merespons empat pemekaran di Papua dan Papua Barat. Perppu itu menjadi payung hukum penyelenggaraan pemilu di Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Meski demikian, ada sejumlah aturan yang ikut dimasukkan ke dalam perppu itu. Salah satunya pengaturan nomor urut partai politik.
Perppu Pemilu memperbolehkan partai yang telah lolos ke DPR RI untuk tidak ikut pengundian nomor urut di pemilu berikutnya.
Perppu terbaru dari Jokowi adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini merevisi sejumlah pasal di UU cipta Kerja.
Perppu ini memicu kontroversi karena sekaligus menjadi jawaban pemerintah atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemerintah secara sah menjawab putusan MK lewat perppu. Dia menegaskan perppu setara dengan undang-undang di sistem hukum Indonesia.
(dhf/fra)