Dalam 15 daftar pelanggaran HAM berat yang disebut oleh Jokowi, belum termasuk peristiwa Paniai berdarah. Sebab, kasus itu terjadi di era Jokowi.
Adapun 12 pelanggaran HAM berat di antaranya sama dengan daftar kasus yang Jokowi akui. Sementara tiga lagi adalah tragedi Tanjung Priok, Timor Leste, dan Abepura.
Namun demikian, dari belasan kasus pelanggaran HAM berat itu, baru Paniai yang naik sampai ke pengadilan. Itu pun, kata Sajali, dirasa masih jauh dari keadilan untuk korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, terdakwa yang diseret ke pengadilan oleh Jaksa Agung hanya satu orang. Itu pun terdakwa akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim. Padahal, peristiwa Paniai adalah kejahatan luar biasa, terstruktur dan sistematis.
Sajali menjelaskan presiden punya peran yang signifikan dalam penyelesaian kasus HAM berat. Meskipun, dalam konsep trias politica, penyelesaian yudisial berada pada ranah Mahkamah Agung (MA).
Sajali menyebut presiden yang notabenennya sebagai eksekutif, punya hak prerogatif dalam menentukan Jaksa Agung. Peran presiden dalam hal ini bisa memilih Jaksa Agung yang punya keseriusan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
Jaksa Agung berperan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, melakukan penyidikan sampai menyeret kasus ke pengadilan.
![]() |
Namun, Sajali melihat dalam dua periode kepemimpinannya, Jokowi selalu memilih Jaksa Agung yang berpotensi sarat kepentingan. Pada periode pertama, Jokowi memilih Jaksa Agung HM Prasetyo yang juga politisi NasDem.
Pada periode keduanya, Jokowi memilih ST Burhanuddin. Dia adalah adik politikus PDIP, partai yang mengusungnya sebagai presiden.
"Sebenarnya itu yang perlu dievaluasi secara menyeluruh oleh Jokowi yang sebenarnya sudah diingatkan sejak periode pertama," ujar dia.
"Itu terlihat jadi masalah dan terbukti banget di pengadilan Paniai, kinerja jaksa agung begitu payah sehingga dakwaan lemah dan terdakwa bebas," imbuhnya.
Sajali menyebut rekam jejak Jokowi itulah yang membuatnya khawatir untuk ke depan. Terlebih, dalam pernyataannya bersama Menko Polhukam Mahfud MD masih problematis. Menurut Sajali, mereka masih melanggengkan narasi-narasi yang keliru, terutama terkait peristiwa 1965-1966.
Dia berharap presiden bisa melakukan pengungkapan fakta dan meluruskan sejarah di buku pelajaran sekolah hingga keberadaan museum terkait yang perlu dievaluasi. Sebab, hal itu berpengaruh pada pemenuhan hak korban dari berbagai aspek: sosial, ekonomi, dan politik.
"Harusnya kalau penyelesaian HAM berat berjalan sesuai koridornya kita enggak akan ngelihat lagi ada lubang buaya, museum satria mandala, dan sebagainya atau monumen 66 itu hal yang patut direvisi. Harusnya sejauh itu," imbuhnya.
(yla/pmg)