ANALISIS

Moral Tipis Famili Pejabat, Larangan Dinasti Politik Masih Diperlukan

CNN Indonesia
Kamis, 26 Jan 2023 10:59 WIB
Aturan di UU yang melarang dinasti politik perlu dikembalikan. Publik tak bisa mengharap pada moral para famili pejabat.
Aturan di UU yang melarang dinasti politik perlu dikembalikan. Publik tak bisa mengharap pada moral para famili pejabat. CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia --

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menyatakan siap jika diusung menjadi calon gubernur di Pilkada 2024. Gibran, yang juga anak dari Presiden Joko Widodo itu, bukan satu-satunya famili pejabat yang masuk politik elektoral.

Selain dia, ada pula para sanak famili dari Ratu Atut Chosiyah yang terjun ke politik elektoral saat dan sesudah dirinya menjabat sebagai Gubernur Banten.

Para kerabat Ratu Atut menempati jabatan mulai dari Wali Kota Tangerang Selatan, Wali Kota Serang, hingga Wakil Bupati Serang. Fenomena ini dikenal dengan 'Dinasti Politik Ratu Atut'.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena serupa ditemukan di beberapa wilayah lain, salah satunya di Lampung. Saat Sjachroedin ZP menjabat sebagai Gubernur Lampung pada 2007-2014, kedua anaknya terpilih menjadi kepala daerah tingkat kabupaten.

Mereka adalah Rycko Menoza yang menjabat Bupati Lampung periode 2010-2015 dan Handiytya Narapati menjabat Wakil Bupati Pringsewu pada 2011-2016.

Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi menilai fenomena tersebut memang jamak ditemukan di Indonesia. Sedikitnya ada tiga alasan yang menyebabkan hal itu terjadi.

Alasan pertama, karena tidak ada hukum yang melarang kerabat pejabat petahana ikut jadi pejabat. Kedua, permasalahan moral para sanak famili pejabat yang mencalonkan diri dalam politik elektoral. Ketiga, adanya normalisasi.

Asrinaldi menyebut para anggota keluarga pejabat yang ikut serta dalam politik elektoral mempunyai moral tipis. Meski tak ada larangan, seharusnya mereka menahan diri untuk tidak mencalonkan diri sampai masa jabatan keluarganya habis agar tak ada konflik kepentingan.

"Agar tidak konflik kepentingan, janganlah bertanding saat Pak Jokowi sedang menjabat. Nah gitu aja harapan masyarakat," kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (26/1).

"Tapi jika tetap [mencalonkan diri], maka moralnya tipis, tidak mendengarkan suara publik dan sarat akan konflik kepentingan," imbuhnya.

Asrinaldi menjelaskan privilese melekat kepada para keluarga pejabat. Namun, sebagai subjek yang berpikir, mereka semestinya bisa menimbang untuk menggunakan privilese dengan bijak.

Menurutnya, para keluarga pejabat bisa saja mengklaim tidak memanfaatkan privilesenya untuk memobilisasi masa. Namun, hal tersebut sulit untuk dipercaya.

"Orang kan segan, orang kan enggak mau bermasalah dan enggak mau ada intervensi. Tapi saat menjabat pasti ada konflik kepentingan. Makanya secara etis itu tidak usah," ucap Asrinaldi.

"Karena orang punya persepsi ketika orang tuanya presiden itu dapat memanfaatkan jabatan tersebut untuk memobilitasi sumber daya yang ada. Kan itu yang dikhawatirkan," lanjutnya.

Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto juga memiliki pandangan serupa. Dia menyebut konflik kepentingan berpotensi besar jika keluarga pejabat juga menduduki kursi pemerintahan.

Namun, Mahkamah Konstitusi pada 2015 telah membatalkan aturan dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 yang melarang kerabat pejabat petahana untuk maju sebagai calon kepala daerah.

Saat itu, di Pasal 7 UU Nomor 8/2015 mengatur bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Para calon tidak boleh memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan

"Kalau ada keluarga pejabat publik yang mencalonkan diri itu kan ada peluang (konflik kepentingan), ini yang dikhawatirkan terjadi, tetapi itu memang tidak bisa dilarang," kata Arif kepada CNNIndonesia.com.

Arif pun berpendapat perlu ada norma-norma selain hukum yang harus diterapkan dalam politik elektoral. Dia berkata, norma kepantasan harus menjadi pertimbangan keluarga pejabat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

"Politik ini kan kehidupan sosial ya, jadi seharusnya ga cuma tentang norma hukum, tapi juga norma-norma lain, salah satunya kepantasan," ujar Arif.

"Sama seperti kenapa kita harus menghormati orang tua. Tidak ada aturan hukum yang mengharuskan kita hormati pada orang tua. Tapi kita tetap menghormati orang tua, ada adab dan kepantasan," lanjutnya.

Selain masalah kepantasan, Arif juga menyoroti peran kaderisasi partai. Menurut Arif, jika kaderisasi partai baik, maka mereka tidak akan mengusung calon hanya karena seseorang berasal dari keluarga pejabat atau karena memiliki popularitas.

"Kalau ada mekanisme yang bagus dari parpol, itu bisa menghindari hal semacam ini," ucapnya.

Aturan di UU perlu dikembalikan

Berbeda dengan Arif, pengamat politik Asrinaldi menilai imbauan secara moral saja tidak cukup. Sebab, tak semua orang punya ketebalan moral yang sama.

Oleh sebab itu, dia berpendapat larangan keluarga inti untuk menghindari konflik kepentingan dan dinasti politik harus diatur dalam undang-undang.

"Kalau memang itu dijadikan persoalan, harus ditulis, ada hitam putihnya. Persoalannya di kita ini, imbauan moral tidak cukup. Karena moral kita sudah tipis semua, jadi ya sudah mau dianggap tidak bermoral ya tidak peduli. Orang aji mumpung saja," jelas dia.

Terlebih, kata dia, fenomena ini seakan telah dinormalisasi. Setiap keluarga pejabat bisa dengan percaya diri masuk ke dalam kursi pemerintahan juga. Bahkan, dalam konteks Gibran, dia malah berharap adiknya juga ikut mengikuti jejaknya.

Menuru Asrinaldi, UU Pemilu dan Pilkada harus memuat aturan tersebut. DPR dan MK, kata dia, harus sadar akan dampak dari tidak diaturnya larangan keluarga inti pejabat ikut jadi pejabat pemerintahan.

"Kasus apapun misal terkait Gibran, buat saja undang-undang yang mengatur konflik kepentingan seperti demikian. Karena ini fenomena umum," ujarnya.

(yla/tsa)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER