Jakarta, CNN Indonesia --
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah menilai perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK mempengaruhi legalitas atau keabsahan pencopotan hakim konstitusi Aswanto oleh DPR.
Castro, sapaan akrabnya, berpendapat frasa "dengan demikian" sebagaimana yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang menyatakan bahwa pencopotan Aswanto oleh DPR tidak sah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Frasa "dengan demikian" itu dapat juga dimaknai "untuk itu" atau "maka", yang berarti berlaku saat itu juga. Oleh karena itu, keberlakuan putusan MK tersebut bersifat mengikat dalam perkara pergantian Aswanto oleh DPR. Jadi, mestinya pergantian hakim Aswanto ke Guntur Hamzah batal demi hukum jika berpegangan kepada putusan MK tersebut," ujar Castro kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/1).
Namun, kondisi itu berubah ketika MK diduga mengubah substansi putusan dari frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan".
"Sebaliknya, frasa "ke depan" dimaknai keberlakuan putusan MK tersebut hanya dapat diterapkan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tidak berkaitan langsung dengan pergantian hakim Aswanto oleh DPR," imbuhnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini menduga kuat perubahan substansi putusan dimaksud dilakukan oleh mereka yang mempunyai kepentingan terkait pergantian hakim konstitusi Aswanto ke Guntur Hamzah.
"Mereka butuh "stempel" agar proses pergantian tersebut seolah-olah dilegitimasi oleh putusan MK," kata Castro.
Dia menyatakan putusan yang berlaku adalah yang diucapkan saat sidang berlangsung karena itu sudah melewati Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH).
"Prinsipnya, putusan MK itu telah selesai dalam RPH sebelum dibacakan terbuka. Jadi, kalau redaksi berbeda dalam risalah, itu sudah pasti sengaja diubah oleh oknum tertentu dalam tubuh MK sendiri," ujarnya.
Senada, pakar hukum tata negara Feri Amsari juga berpendapat putusan yang berlaku adalah yang dibacakan dalam sidang, bukan yang termuat dalam risalah.
"Tentu yang dirujuk adalah putusan yang dibacakan, bukan dokumen yang berbeda dengan putusan," ucap Feri.
Dampak Perubahan Substansi Putusan MK
Castro mengungkapkan dampak dari perubahan substansi putusan adalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga MK. Menurutnya, masyarakat bisa jadi tidak percaya lagi terhadap produk-produk putusan yang dikeluarkan oleh MK.
"Implikasi terbesarnya tentu saja soal kepercayaan publik terhadap MK yang akan semakin menurun, termasuk ketidakpercayaan terhadap produk-produk putusan yang dilahirkan MK," tutur Castro.
"Coba bayangkan jika lembaga peradilan sekelas MK justru tidak mendapatkan kepercayaan dan legitimasi publik, ke mana lagi publik memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya? Bisa jadi publik melakukan pembangkangan hukum secara massal terhadap UU yang diproduksi DPR dan pemerintah," sambungnya.
Baca halaman selanjutnya: "Kepercayaan Masyarakat terhadap MK Akan Menurun..."
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti juga menyoroti kepercayaan masyarakat terhadap MK akan menurun jika kekisruhan ini tidak segera ditanggapi serius.
"Kalau memang MK beriktikad baik-- karena ini menyangkut nama baik dan kepercayaan, [kepercayaan] kita ini sedang turun sekali ya terus terang-- harusnya langsung proses, langsung ada investigasi mendalam," kata Bivitri.
Dia pun meminta Ketua MK Anwar Usman untuk segera membuat aturan pembentukan Majelis Kehormatan yang merupakan amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Bivitri menyatakan hal itu demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap MK. Ia pun memberi catatan terhadap komposisi Majelis Kehormatan MK nantinya yang kini mengharuskan hakim aktif masuk ke tim dan tidak ada unsur dari Komisi Yudisial (KY).
Bivitri mengkhawatirkan benturan kepentingan. Hal ini berbeda sebelum UU MK direvisi di mana hakim MK tidak aktif bisa mengambil bagian dalam tim Majelis Kehormatan MK.
"Langkah yang harus dilakukan adalah langkah administratif dari seorang Ketua MK untuk menyelesaikan kekisruhan ini. Jadi, kalau ada iktikad baik menurut saya MKMK [Majelis Kehormatan MK] saja dibentuk. Momentum ini sangat bisa digunakan Ketua MK," terang dia.
Sementara itu, Juru Bicara MK Fajar Laksono menyatakan pihaknya tengah mengkaji isu dugaan perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022.
"Kami sedang mengkaji isu ini," tutur Fajar.
Dugaan perubahan substansi putusan dimaksud kali pertama diungkapkan oleh penggugat perkara nomor: 103/PUU-XX/2022, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Detail perubahan dimaksud sebagai berikut:
Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra pada 23 November 2022 yaitu:
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3(tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:
"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."
Adapun alasan DPR mencopot Aswanto sebagai hakim konstitusi karena yang bersangkutan sering menganulir produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR.
Aswanto merupakan hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR. Kejadian ini menurut sejumlah pihak sebagai bentuk penyerangan terhadap kemandirian hakim konstitusi.