Jakarta, CNN Indonesia --
Tim hukum warga Pakel mendesak Presiden Joko Widodo dan beberapa pihak terkait untuk turun tangan dalam penyelesaian perampasan tanah di Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur.
Pasalnya, persampasan tanah di Pakel disebut sudah berlangsung selama satu abad, terhitung dari tahun 1925 atau masa kolonialisme hingga tahun 2023.
"Menuntut Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus warga Pakel, Banyuwangi dan memulihkan seluruh hak-hak ekonomi, sosial, budaya mereka yang terapas," bunyi salah satu tuntutan mereka, Rabu (15/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun tim kuasa hukum warga Pakel itu berasal dari beberapa organisasi dan pengacara publik yang tergabung dalam Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda).
Perwakilan tim hukum warga Pakel, Wahyu Eka Styawan menilai pihak terkait seperti Kementerian ATR/BPN juga berkewajiban untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Pakel.
"Sudah jelas, konflik terjadi karena ketimpangan penguasaan lahan. Harusnya memang ATR-BPN menjalankan reforma agraria yang sudah menjadi program nasional," ujarnya.
Wahyu berkata selama satu abad perampasan tanah di Pakel, hampir selalu disertai dengan intimidasi dan kriminalisasi. Terbaru, tiga petani Desa Pakel bernama Mulyadi, Suwarno, dan Untung ditangkap pihak kepolisian saat hendak menghadiri rapat Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi, Jumat (3/2) malam.
Penangkapan ini dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim bersama Polresta Banyuwangi atas kasus dugaan penyebaran berita bohong.
Ketiga warga diduga ditangkap tidak sesuai prosedur. Namun, Polda Jatim membantah tudingan itu.
Wahyu menyebut pihaknya pun mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit dan Kapolda Jatim untuk membebaskan ketiga warga yang ditangkap.
"Mendesak Kapolri dan Kapolda Jawa Timur membebaskan Mulyadi, Suwarno, Untung dan mencabut status tersangka ketiganya," ucap dia.
Sejarah 100 tahun perampasan tanah di Pakel Banyuwangi di halaman berikutnya...
Tim kuasa hukum menjelaskan sekitar 2.956 warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen, Ngalimun, Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel kepada pemerintah kolonial Belanda tahun 1925.
Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan dengan terbitnya Akta 1929. Doelgani dkk diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu (3200 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Setelahnya, Doelgani, dkk mulai membabat hutan tersebut, kurang lebih 300 Bahu selama 3 bulan pasca terbitnya Akta 1929. Namun dalam perjalanannya, Akta 1929 tersebut ternyata tidak diberikan karena dirampas oleh Asisten Wedono Kabat (asistem pembantu pimpinan tingkat kabupaten-membawahi beberapa camat pada zaman kolonial Belanda).
Atas kasus perampasan tersebut, Doelgani dkk melaporkannya kepada Wedono (pembantu pimpinan tingkat kabupaten/membawahi beberapa camat pada zaman kolonial Belanda) di Rogojampi. Dalam keterangannya, Wedono mengatakan kepada mereka bahwa untuk mendapatkan surat tersebut harus seijin kantor kehutanan.
Menghadapi situasi itu, Doelgani dkk lantas menemui kembali Asisten Wedono Kabat, dan Doelgani dkk berhasil mendapatkan Akta 1929 tersebut. Pasca pemberian Akta 1929 tersebut, Doelgani dkk disuruh oleh Asisten Wedono untuk membabat kembali lahan yang masuk dalam Akta 1929.
Namun, saat pembabatan dilakukan oleh Doelgani dkk, mereka didatangi oleh Asisten Wedono Kabat yang baru dan aparat pemerintah Desa Sumberejo Pakel. Kedatangan mereka ternyata untuk menghalang-halangi kegiatan pembabatan dan berujung pengikatan tangan warga.
Tak lama setelahnya, Doelgani dkk juga ditangkap dengan tuduhan telah melakukan aksi berbau komunis. Jumlah warga yang mendapatkan tuduhan tersebut kira-kira 170 orang. Mereka selanjutnya dikirim ke Banyuwangi untuk diperiksa oleh aparat kolonial Belanda.
Tiga hari pasca pembebasan tersebut, Doelgani dkk dkembali ditangkap oleh Asisten Wedono Kabat dan aparat pemerintah Desa Sumber Rejo Pakel. Surat Akta 1929 pembukaan hutan milik warga juga turut dirampas kembali.
Jenuh dan kecewa dengan tindakan para pejabat kolonial Belanda, Doelgani dkk lantas memutuskan untuk terus melakukan aksi pembukaan hutan. Namun, Doelgani dkk harus menghadapi hukuman denda uang sebesar 2.5 Gulden dan hukuman 14 hari atau 7 hari penjara.
Selanjutnya pada tahun 1933, Doelgani dkk menyampaikan kasus yang mereka hadapi kepada Gubernur Jenderal di Jakarta. Dalam keputusannya, Gubernur Jenderal menyatakan bahwa Doelgani dkk memang berhak untuk membuka hutan Sengkan Kandang dan Keseran.
Era orde baru hingga kini
Pada era orde baru, tepatnya tanggal 1 Juli 1963, 11 orang yang mewakili 717 warga Pakel, mengajukan surat Permohonan Tanah Hutan Bebas kepada Bupati Banyuwangi.
Surat itu pada intinya meminta pemerintah agar memberikan izin dan alas hak kepada mereka atas tanah-lahan Hutan Sengkan Kandang Keseran yang terletak di Pakel, yang sebelumnya izinnya telah diberikan lewat Akta 1929 pada zaman Belanda.
Selanjutnya, pasca meletusnya tragedi kemanusiaan '30 September 1965', warga Pakel tidak berani untuk menduduki kawasan tersebut untuk menghindari tuduhan sebagai anggota PKI.
Pada tanggal 17 September 1977, Tjan Gwan Kwie, pengacara warga Pakel pada masa kolonial Jepang mengirimkan surat kepada Kas Kopkamtip di Jakarta.
Tjan menerangkan pada zaman Jepang, dirinya selaku pengacara warga Pakel telah mengirimkan surat kepada Paduka Tuan Syuutyokan agar menyelesaikan kasus yang dialami oleh warga Pakel. Namun, karena saat itu bom sekutu dijatuhkan sebanyak 2 kali di Banyuwangi, dan menyebabkan kekacauan, usaha penyelesaian tanah itu pun tidak berhasil.
Selanjutnya lahan seluas 4000 Bahu tersebut, dikuasai oleh perusahaan perkebunan Bumi Sari dengan luasan mencapai 500 Ha, dan dikuasai oleh Perhutani seluas 500 Ha.
Pada tanggal 13 Desember 1985, Kemendagri menerbitkan HGU pada satu perusahaan. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa perusahaan tersebut mengantongi HGU seluas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar.
SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Kedua sertifikat HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.
Dengan merujuk SK HGU diatas, jelas dapat disimpulkan bahwa oerusahaan itu tidak memiliki HGU di Pakel. Dalam praktiknya, PT Bumi Sari melakukan penguasaan lahan hingga Desa Pakel.
Pada 1 Juli 1998, 16 warga Pakel, diantaranya adalah Muhammad Slamet, mengajukan permohonan penyelesaian kasus yang mereka hadapi ke Bupati Banyuwangi.
Tahun 1999-2001, setelah Soeharto tumbang, warga Pakel mencoba melakukan aksi pendudukan lahan di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh Perhutani. Namun, buntut dari aksi tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami tindak kekerasan fisik. Konflik agraria itu masih berlangsunh hingga saat ini.