Jakarta, CNN Indonesia --
Kedatangan tentara Jepang ke Indonesia kerap memantik konflik militer pasukan Belanda. Kondisi perang berdampak langsung terhadap sejumlah tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk sosok yang menjadi proklamator RI kelak: Ir Sukarno.
Pada 1942, Sukarno yang berstatus tahanan sipil di Bengkulu dibawa tentara Belanda untuk dipindahkan ke Aceh. Sukarno direncanakan diungsikan ke Kota Cane atau Aceh. Sukarno menyusuri hutan yang lebat dan pohon-pohon yang rapat dengan berjalan kaki bersama Inggit, anaknya Sukarti, dan Riwu pembantunya. (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams, 1965).
Mereka dipandu tentara Belanda menuju pelabuhan di barat Sumatera, Padang. Sukarno direncanakan naik kapal bersama pengungsi sipil lainnya menuju Australia. Namun rencana berubah, sesampainya di Padang, kapal yang akan ditumpanginya sudah luluh lantak dibom Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka ditinggalkan begitu saja oleh tentara Belanda yang sibuk pontang-panting menyelamatkan diri.
Sukarno ditinggalkan di Painan, sebuah kota di Kabupaten Pesisir Selatan. Belanda meninggalkan rombongan Bung Karno karena mendengar tentara Jepang sudah masuk ke Sumbar.
Sukarno kemudian dijemput oleh barisan Hizbul Wathan, yang dikepalai oleh tokoh Muhammadiyah Dahlan Datuk Junjungan yang merupakan ayah dari Prof Alwi Dahlan, mantan Menteri Penerangan. Sukarno lantas dibawa ke sebuah hotel di Muara Padang. Hal itu dikonfirmasi oleh sejarawan Sumatera Barat Hasril Chaniago.
"Mereka dijemput serombongan orang dengan menggunakan gerobak sapi," kata Hasril, Rabu (23/2).
Bung Karno memerintahkan Inggit, Sukarti dan Riwu tetap menetap di sebuah hotel, sedangkan Sukarno pergi ke rumah Waworuntu yang merupakan sahabatnya ketika di Bengkulu. Sang sahabat yang merupakan seorang dokter hewan di Manado yang juga diungsikan ke Bengkulu. Di Padang, sang dokter menyewa sebuah rumah milik Achmad Arif Datuak Majo Urang, tokoh adat di Sumatra Barat. Kelak menjadi rumah singgah Bung Karno.
"Bung Karno tinggal sejak pertengahan Maret 1942," kata Hasril Chaniago.
Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah itu juga dijadikan sebagai tempat untuk menghimpun kekuatan (Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI Di Minangkabau/Riau, Ahmad Husein, dkk). Dari rumah itu, Sukarno memulai aktivitasnya kembali sebagai seorang pemimpin perjuangan yang telah bebas dari kungkungan Belanda.
Jejak Perjuangan Bung Karno dari Rumah Singgah
Dalam menghimpun kekuatan, Bung Karno membebaskan sejumlah aktivis Sumbar yang ditahan dan hampir dihukum pancung oleh Jepang, salah satunya yaitu Anwar Sutan Saidi.
Dikutip dari buku Dari Pemberontakan ke Integrasi Karya Audrey Kahin menyebut Sukarno melakukan pendekatan kepada Jepang untuk mengupayakan pembebasan Anwar. Anwar ditangkap pada 3 April 1942, sehari setelah tawanan Kota Cane yaitu Chatib Suleiman dan kawan-kawan tiba di Padang Panjang.
Kemudian, meskipun tokoh-tokoh PNI Baru Sumbar (partai Hatta dan Syahrir) terpecah dua ke dalam kelompok yang mendukung dan menolak bekerja sama dengan Jepang, Anwar St Saidi sebagai kepala Bank nasional dan organisasi-organisasi perdagangan, membantu Sukarno bergiat di jalur ekonomi dalam rangka mengumpulkan dana dan senjata.
Adapun Tamimi Usman membantu Sukarno untuk memimpin kelompok Syahrir yang berbeda opsi untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan bawah tanah. Dan Chatib Suleiman dan Leon Salim mengikuti Sukarno dengan jalur perjuangan.
Kini hilangnya rumah singgah Bung Karno di Padang itu disesali oleh keluarga Siti Erna Irdam Idris, pemilik awal rumah tersebut. Siti Erna merupakan anak dari Achmad Arif Datuak Majo Urang, pemilik asli rumah tersebut untuk ditempati Bung Karno. Lokasi bersejarah itu kini beridentitas sebuah rumah nomor 12 di jalan A Yani Padang. Rumah itu kini telah dipagar dengan seng.
Menurut Ade Indrawan Irdam (65), putra Siti Erna Irdam Idris, banyak kenangan semasa kecilnya yang ia habiskan bersama empat saudaranya yang lain di sana. Ia juga mengaku keluarganya dulu berupaya merawat rumah tersebut dan membantah, tidak adanya plang cagar budaya di sana.
Pada 1998, rumah yang dibangun sekitar tahun 1930 itu ditetapkan sebagai cagar budaya, dengan pemiliknya atas nama almarhum Siti Erna Irdam Idris. Banyak catatan sejarah di sana, dan Ade Indrawan Irdam berbagi cerita, betapa sedih dan kecewanya ia ketika rumah itu diruntuhkan, walau bukan miliknya lagi.
Ade bercerita sambil mengenang-ngenang kembali masa kecilnya tentang rumah yang pernah ditempati Bung Karno di Kota Padang pada tahun 1942 itu.
"Lubang-lubang angin di atas jendela rumah kami membuat udara di dalamnya terasa selalu sejuk, terasnya luas berada di bagian depan dan samping kami pergunakan sebagai tempat menghabiskan waktu dengan keluarga. Rindang ditutupi pohon mangga dan pohon jambu yang berdaun lebat di samping rumah," kata Ade Indrawan Idris kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/02).
"Dindingnya bercat putih, lantai ubin berwarna merah bebercak putih dengan motif kerang dan jendela berkaca-kaca besar berbahan kayu jati berwarna kayu pelitur serta halaman yang luas membuat saya betah berlama-lama menghabiskan hari di sana, apalagi bulan puasa yang terasa lebih panas dari hari-hari biasanya," bertambah kenangan Ade.
Sang kakek, Achmad Arif Datuak Majo Urang merupakan anggota Minangkabau Raad atau setara DPRD pada zaman Belanda sekitar tahun 1930-an. Perannya yang cukup sentral di pemerintahan daerah membuat rumahnya pun kini berlokasi hampir berhadap-hadapan dengan rumah dinas Wali Kota Padang.
Rumah hunian yang berarsitektur Belanda itu memiliki tiga kamar utama berukuran besar dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing sekitar enam meter, dengan pintu yang terbuat dari bahan kayu jati yang kokoh berwarna coklat serupa warna jendela pula. Ruang tamu menyatu dengan ruang keluarga dan ruang makan, sehingga membentuk serupa hall besar di tengah-tengah rumah. Pada bagian utama rumah, juga dilengkapi dengan dua buah kamar mandi dan sebuah garasi.
Luas rumahnya 290 meter persegi dan luas lahan 800 meter persegi sebagai rumah hunian gaya lokal di zaman Belanda.
Pada bagian belakang, rumah juga dilengkapi dengan dapur berukuran besar serta terdapat pula tiga kamar kecil lainnya tempat tukang masak, pengurus rumah dan supir beristirahat. Kemudian, ada pula gudang kecil dan hall kecil di bagian ujung belakang rumah, tempat penyimpanan kayu dan beras.
"Tidak banyak pilar di dalam dan di luar rumah, sebab dindingnya sangat tebal dan kokoh," jelasnya kepada CNNIndonesia.
Ade mengakui rnovasi besar terhadap rumah itu pernah dilakukan Kemudian renovasi pada tahun 1960-an setelah militer PRRI meninggalkan rumah. Pada era itu, rumahnya kerap menjadi markas militer.
"Secara umum perubahan yang dilakukan adalah restorası dengan tidak merubah bentuk asli bangunan rumah tersebut," terangnya.
Ade mengenang, kebanyakan surat dan catatan milik Sukarno ditemukan ketika renovasi rumah yang terakhir. Beberapa benda-benda itu masih dia simpan hingga sekarang. Pihak keluarga juga masih menyimpan sejumlah perabot seperti meja rias dan meja makan bergaya Belanda yang masih ia pakai di rumahnya di Jakarta.
"Saya memilih untuk menyimpannya, karena merasa akan berguna suatu saat nanti," ujarnya mengenang-ngenang.
Namun pada 2009, meskipun berat, keluarga sepakat menjual rumah itu.
"Ibu sudah semakin tua, tidak sanggup bolak-balik Jakarta Padang. Dengan. berat hati kami akhirnya menjual rumah itu," ungkapnya.
Ade bercerita rumah itu dijual kepada keluarga mantan Wali Kota Padang saat itu Fauzi Bahar. Salah satu kesepakatan yang terjadi ketika rumah itu dijual yaitu pihak pembeli akan tetap menjaga sejarah rumah dengan mempertahankan bentuk dan merawat rumah selayaknya.
"Atas pertimbangan utama itulah ibu saya memutuskan utk menjual rumah itu kepada mereka, tidak asal menjual ke sembarang orang," katanya.
Ketika perjanjian dan kesepakatan terjadi, Ade mendampingi ibunya saat melakukan transaksi dan serah terima ke pembeli baru rumah itu.
"Saya masih ingat betul, sungguh hal itu saat yang sangat menyedihkan buat saya, saya dan ibu meneteskan air mata karena ikatan emosi yang sedemikian kuat dengan rumah itu" kenang Ade.
Tahun-tahun selanjutnya, sesekali Ade tetap pulang ke Minangkabau bersama ibunya. Ketika di Kota Padang, Ade bercerita selalu meluangkan waktu untuk melewati rumah tempat banyak kenangan masa kecilnya itu sekedar melepas rindu dan bernostalgia.
Namun, dari kejauhan rumah tersebut tampak telah berubah fungsi menjadi sekolah dan restoran dan ada beberapa tambahan bangunan baru. Bahkan meskipun bukan miliknya lagi, di tahun-tahun terakhir tampak agak kurang perawatan sehingga sering membuat ibunya menitikkan air mata melihat kondisi bekas rumahnya itu.
"Terakhir kalinya saya ke Padang pada Oktober 2019 lalu bersama Ibu sebelum beliau meninggal. Ibu saya menangis sejadi-jadinya melihat kondisi rumah yang ia rawat dulunya berubah menjadi tidak terurus," katanya.
Di tempat berbeda, Arkeolog sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unand Herwandi menyebut banyaknya terjadi alih fungsi merupakan bukti dari keteledoran pengawasan cagar budaya oleh Pemerintah.
"Penghancuran itu sangat sangat sangat sangat salah. Siapapun dia tidak boleh mengubah, meruntuhkan apalagi menghancurkan untuk kepentingan apapun" tegasnya.
Hal itu, menurutnya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan secara formal. Adapun regulasinya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Sementara Wali Kota Padang, Hendri Septa malah mengatakan hal yang berbeda. Pihaknya mengatakan tidak ingin berpolemik mengenai penghancuran rumah singgah Sukarno tersebut.
"Kita tidak mengizinkan rumah itu dirobohkan, mereka sendiri yang merobohkan tanpa izin. Kita tidak ada di tempat kala itu," katanya kepada wartawan Rabu (22/02).
"Kita tidak usah ribut, kalau memang ada rumah (singgah Sukarno itu) dalam cagar budaya, dalam Undang-undang boleh dibangun lagi," tambahnya.
Kemudian menanggapi itu, pihaknya telah bertemu dengan pemilik rumah, dan sama-sama sepakat untuk membangun replikanya di tempat yang sama. Sehingga ia menyarankan agar tidak perlu heboh dalam menangapi kasus itu.
"Tidak usah ribut-ribut, saya tidak mau menimbulkan polemik. Jika saya tau, tentu tidak diizinkan" jelasnya.
Kemudian pihaknya juga mengatakan bahwa tidak ada tanda atau palang penentu rumah tersebut sebagai bangunan cagar budaya.
"Menurut data 1998 memang sudah ditetapkan sebagia cagar budaya, tetapi tidak ada tanda (di rumah itu)," katanya.