Memori Perjuangan dari Rumah Singgah Sukarno yang Luluh Lantak

CNN Indonesia
Kamis, 23 Feb 2023 15:33 WIB
Rumah singgah di Kota Padang itu juga dijadikan sebagai tempat untuk menghimpun kekuatan oleh Bung Karno melawan Jepang.
Rumah Singgah Bung Karno di Kota Padang. (Arsip keluarga besar Siti Erna Irdam Idris)

Kini hilangnya rumah singgah Bung Karno di Padang itu disesali oleh keluarga Siti Erna Irdam Idris, pemilik awal rumah tersebut. Siti Erna merupakan anak dari Achmad Arif Datuak Majo Urang, pemilik asli rumah tersebut untuk ditempati Bung Karno. Lokasi bersejarah itu kini beridentitas sebuah rumah nomor 12 di jalan A Yani Padang. Rumah itu kini telah dipagar dengan seng.

Menurut Ade Indrawan Irdam (65), putra Siti Erna Irdam Idris, banyak kenangan semasa kecilnya yang ia habiskan bersama empat saudaranya yang lain di sana. Ia juga mengaku keluarganya dulu berupaya merawat rumah tersebut dan membantah, tidak adanya plang cagar budaya di sana.

Pada 1998, rumah yang dibangun sekitar tahun 1930 itu ditetapkan sebagai cagar budaya, dengan pemiliknya atas nama almarhum Siti Erna Irdam Idris. Banyak catatan sejarah di sana, dan Ade Indrawan Irdam berbagi cerita, betapa sedih dan kecewanya ia ketika rumah itu diruntuhkan, walau bukan miliknya lagi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ade bercerita sambil mengenang-ngenang kembali masa kecilnya tentang rumah yang pernah ditempati Bung Karno di Kota Padang pada tahun 1942 itu.

"Lubang-lubang angin di atas jendela rumah kami membuat udara di dalamnya terasa selalu sejuk, terasnya luas berada di bagian depan dan samping kami pergunakan sebagai tempat menghabiskan waktu dengan keluarga. Rindang ditutupi pohon mangga dan pohon jambu yang berdaun lebat di samping rumah," kata Ade Indrawan Idris kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/02).

"Dindingnya bercat putih, lantai ubin berwarna merah bebercak putih dengan motif kerang dan jendela berkaca-kaca besar berbahan kayu jati berwarna kayu pelitur serta halaman yang luas membuat saya betah berlama-lama menghabiskan hari di sana, apalagi bulan puasa yang terasa lebih panas dari hari-hari biasanya," bertambah kenangan Ade.

Sang kakek, Achmad Arif Datuak Majo Urang merupakan anggota Minangkabau Raad atau setara DPRD pada zaman Belanda sekitar tahun 1930-an. Perannya yang cukup sentral di pemerintahan daerah membuat rumahnya pun kini berlokasi hampir berhadap-hadapan dengan rumah dinas Wali Kota Padang.

Rumah hunian yang berarsitektur Belanda itu memiliki tiga kamar utama berukuran besar dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing sekitar enam meter, dengan pintu yang terbuat dari bahan kayu jati yang kokoh berwarna coklat serupa warna jendela pula. Ruang tamu menyatu dengan ruang keluarga dan ruang makan, sehingga membentuk serupa hall besar di tengah-tengah rumah. Pada bagian utama rumah, juga dilengkapi dengan dua buah kamar mandi dan sebuah garasi.

Luas rumahnya 290 meter persegi dan luas lahan 800 meter persegi sebagai rumah hunian gaya lokal di zaman Belanda.

Pada bagian belakang, rumah juga dilengkapi dengan dapur berukuran besar serta terdapat pula tiga kamar kecil lainnya tempat tukang masak, pengurus rumah dan supir beristirahat. Kemudian, ada pula gudang kecil dan hall kecil di bagian ujung belakang rumah, tempat penyimpanan kayu dan beras.

"Tidak banyak pilar di dalam dan di luar rumah, sebab dindingnya sangat tebal dan kokoh," jelasnya kepada CNNIndonesia.

Ade mengakui rnovasi besar terhadap rumah itu pernah dilakukan Kemudian renovasi pada tahun 1960-an setelah militer PRRI meninggalkan rumah. Pada era itu, rumahnya kerap menjadi markas militer.

"Secara umum perubahan yang dilakukan adalah restorası dengan tidak merubah bentuk asli bangunan rumah tersebut," terangnya.

Ade mengenang, kebanyakan surat dan catatan milik Sukarno ditemukan ketika renovasi rumah yang terakhir. Beberapa benda-benda itu masih dia simpan hingga sekarang. Pihak keluarga juga masih menyimpan sejumlah perabot seperti meja rias dan meja makan bergaya Belanda yang masih ia pakai di rumahnya di Jakarta.

"Saya memilih untuk menyimpannya, karena merasa akan berguna suatu saat nanti," ujarnya mengenang-ngenang.

Namun pada 2009, meskipun berat, keluarga sepakat menjual rumah itu.

"Ibu sudah semakin tua, tidak sanggup bolak-balik Jakarta Padang. Dengan. berat hati kami akhirnya menjual rumah itu," ungkapnya.

Ade bercerita rumah itu dijual kepada keluarga mantan Wali Kota Padang saat itu Fauzi Bahar. Salah satu kesepakatan yang terjadi ketika rumah itu dijual yaitu pihak pembeli akan tetap menjaga sejarah rumah dengan mempertahankan bentuk dan merawat rumah selayaknya.

"Atas pertimbangan utama itulah ibu saya memutuskan utk menjual rumah itu kepada mereka, tidak asal menjual ke sembarang orang," katanya.

Ketika perjanjian dan kesepakatan terjadi, Ade mendampingi ibunya saat melakukan transaksi dan serah terima ke pembeli baru rumah itu.

"Saya masih ingat betul, sungguh hal itu saat yang sangat menyedihkan buat saya, saya dan ibu meneteskan air mata karena ikatan emosi yang sedemikian kuat dengan rumah itu" kenang Ade.

Tahun-tahun selanjutnya, sesekali Ade tetap pulang ke Minangkabau bersama ibunya. Ketika di Kota Padang, Ade bercerita selalu meluangkan waktu untuk melewati rumah tempat banyak kenangan masa kecilnya itu sekedar melepas rindu dan bernostalgia.

Namun, dari kejauhan rumah tersebut tampak telah berubah fungsi menjadi sekolah dan restoran dan ada beberapa tambahan bangunan baru. Bahkan meskipun bukan miliknya lagi, di tahun-tahun terakhir tampak agak kurang perawatan sehingga sering membuat ibunya menitikkan air mata melihat kondisi bekas rumahnya itu.

"Terakhir kalinya saya ke Padang pada Oktober 2019 lalu bersama Ibu sebelum beliau meninggal. Ibu saya menangis sejadi-jadinya melihat kondisi rumah yang ia rawat dulunya berubah menjadi tidak terurus," katanya.



Keteledoran Pemda dalam pengawasan Cagar Budaya

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER