Notaris Hartono meminta kewenangan jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana Pasal 30 C huruf h Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dihapus.
Hartono selaku pemohon uji materi menilai aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hartono hadir didampingi kuasa hukumnya yaitu Singgih Tomi Gumilang, Muhammad Sholeh dan Antonius Yongki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu kuasa hukumnya, Muhammad Sholeh berpendapat sudah ada yurisprudensi yakni putusan MK nomor: 33/PUU-XIV/2016 yang melarang jaksa mengajukan PK.
"Memang sudah pernah ada dua putusan baik nomor 33/2016 maupun nomor 16/2008, maka ketika tidak ada UU Kejaksaan ini sudah selesai semestinya. Ketika ada UU Kejaksaan yang baru ini dihidupkan kembali. Problem-nya di situ. Bahasa kasarnya UU [Kejaksaan] ini melawan putusan MK," ujar Sholeh dalam sidang yang disiarkan lewat akun YouTube MK, Kamis (23/2).
Anggota hakim konstitusi Arief Hidayat lantas memberi respons.
"Tidak sevulgar itu lah. Pak Sholeh itu sukanya kata-katanya tendensius. Tadi waktu saya mendengarkan sidang pleno sebelumnya juga begitu, supaya bahasanya yang halus," kata Arief.
Ia memberi saran agar Hartono dan tim hukumnya menambah argumen permohonan, termasuk perihal perbandingan dengan putusan MK sebelumnya.
"Apa hal yang sangat urgen sudah diputuskan dari yang lalu sehingga MK diberikan pemahaman, ini lho, di negara lain pun jaksa tidak boleh, yang boleh ya hak terpidana karena itu hak asasi apabila ditemukan novum. Nah, itu yang bisa diuraikan kembali," terang Arief.
Sementara itu, anggota hakim konstitusi Manahan MP Sitompul menasihati Hartono agar memberikan penajaman terhadap argumennya.
Pasal 30 C huruf h menyatakan PK oleh Kejaksaan merupakan tugas dan tanggung jawab Kejaksaan mewakili negara dalam melindungi kepentingan keadilan bagi korban, termasuk bagi negara, dengan menempatkan kewenangan jaksa secara proporsional pada kedudukan yang sama dan seimbang (equality of arms principle) dengan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK.
"Dalam norma penjelasan yang diuji ini, ini ada buntutnya. Jaksa dapat melakukan PK apabila dalam.... masih banyak yang harus diluruskan dulu. Bagaimana PK itu? Apakah lepas boleh PK? Lepas sebetulnya enggak boleh PK. Malah di sini disebutkan seperti itu. Harus dicari inti sari dari penjelasan itu," kata Manahan.
Kasus bermula saat terjadi jual-beli saham kepemilikan perusahaan yang bergerak dalam bidang wisata di Gianyar, Bali, pada 2015. Hartono selaku notaris mengesahkan jual beli itu. Seiring waktu berjalan, terjadi silang sengketa antarpenjual dan pembeli. Kejaksaan pun memproses hukum Hartono.
Pada 13 November 2019, Pengadilan Negeri (PN) Gianyar menyatakan Hartono bersalah turut serta melakukan pemalsuan surat dan menjatuhkan pidana dua tahun penjara. Namun, pada 21 Januari 2022, Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar membebaskan Hartono.
Kejaksaan lantas mengajukan kasasi dan Hartono dinyatakan Mahkamah Agung (MA) bersalah dan dihukum empat tahun penjara. Duduk sebagai ketua majelis hakim kasasi yaitu Sofyan Sitompul dengan hakim anggota Gazalba Saleh dan Desnayeti.
Hartono pun mengajukan PK. Di tingkat PK, MA menjatuhkan vonis bebas. Akan tetapi, Kejaksaan kembali melawan dengan mengajukan PK.
"PK-nya sudah didaftarkan ke PN Gianyar," kata Singgih Tomi Gumilang.
Atas proses hukum ini, Hartono menggugat Pasal 30 C huruf h UU Kejaksaan ke MK.
(ryn/fra)