Jakarta, CNN Indonesia --
Harta yang dimiliki pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo terus menjadi perbincangan dan perhatian publik beberapa waktu terakhir.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pelaporan tahun 2021, eks Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Kanwil Jakarta Selatan II itu tercatat memiliki harta hingga Rp56,1 miliar. LHKPN itu dinilai tak wajar mengingat profil karier Rafael selaku PNS di Ditjen Pajak tersebut.
Belakangan ramai pula di media sosial foto tangkapan layar yang menunjukkan dugaan kekayaan Rafael hingga gaya hidup mewah anggota keluarganya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buntutnya, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyatakan bakal menyerukan aksi tak bayar pajak jika Rafael terbukti menyelewengkan kewenangan di Ditjen Pajak untuk menumpuk harta kekayaannya.
Said mengatakan seruan serupa pernah disampaikan saat menjabat sebagai Ketum PBNU pada 2012 dan telah disepakati dalam Munas NU. Kala itu, seruan dikeluarkan Said lantaran Gayus Tambunan terbukti melakukan penyelewengan dana.
"Tahun 2012 bulan September, Munas ulama di pesantren Cirebon, waktu itu baru ada kejadian Gayus Tambunan, keputusan para kiai kalau uang pajak selalu diselewengkan NU akan mengambil sikap tegas warga NU tidak usah bayar pajak," kata Said saat hendak menjenguk korban penganiayaan anak Rafael, Mario, di RS Mayapada, Jakarta Selatan (28/2).
Seruan menolak membayar pajak imbas kasus ini juga beredar di jagat maya. Sejumlah warganet membuat seruan untuk tak lagi melaporkan pajak tahunan.
Seruan itu dinilai cermin kekhawatiran masyarakat yang selama ini membayar pajak. Kasus Rafael yang terbongkar, bikin masyarakat bertanya-tanya nasib uang pajak yang mereka bayar ke pemerintah.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menilai kekhawatiran tersebut masih wajar dan sangat beralasan.
"Ya beralasan orang khawatir pajaknya dimainin ya, beralasan, karena kan gaya hidup mewah punya klub motor, pamer-pamer harta yang dibicarain soal bea cukai... Saya kira pemerintah enggak bisa marah, itu hal yang wajar," tuturnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/2).
Zainal menyebut seruan boikot bayar pajak bisa saja mengarah pada aksi pembangkangan sipil (civil disobedience). Namun, menurutnya, pembangkangan sipil bukan hal sederhana yang bisa tersulut hanya lewat seruan.
Masyarakat pasti akan mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan pembangkangan sipil. Baik mempertimbangkan aspek hukum, sosial, maupun politik.
"Jadi sebagai sebuah isu muncul ya wajar. Saya kira karena orang kecewa dengan pajaknya yang sudah capek-capek dibayar, tapi kemudian dimainin sama petugas pajak. Tapi bahwa itu berarti ajakan untuk seluruh Indonesia 'jangan bayar pajak', saya kira enggak juga atau tidak sesederhana," ucap dia.
Terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah berpendapat ajakan untuk menolak membayar pajak adalah bentuk kemarahan masyarakat atas tindakan para pejabat yang kerap kali memamerkan kekayaannya.
"Kalau melihat kegeraman masyarakat, kegeraman publik melalui hashtag-hashtag di medsos kan, hashtag stop bayar pajak, memang rupanya masyarakat sudah di tataran ubun-ubun marah" ujarnya.
Kendati demikian, Trubus menyebut isu ini hanya sebagai bentuk ketidakpercayaan publik terhadap para pejabat negara. Sama seperti Zainal, dia menilai aksi boikot membayar pajak tak bisa serta merta dilakukan.
"Kan kewajiban bayar pajak masuk di undang-undang, sehingga sebagai tanda kepatuhan kan kita bayar pajak. Hanya persoalannya dugaan penyelewengan dan lain-lain itu yang menyebabkan kemudian seolah-olah ini jadi mengguncang semua," tuturnya.
"Ini kan jadi public distrust, ini kan enggak bener juga kalau sampai 'enggak bayar pajak'...," sambung Trubus.
Halaman selanjutnya koreksi buat pemungut pajak
Menurut Trubus, persoalan Rafael harus menjadi pintu masuk bagi pemerintah melakukan perbaikan terhadap sistem birokrasi. Persoalan menjerat Rafael--yang sebenarnya berulang di Ditjen Pajak bila berkaca pada kasus Gayus hingga Angin Prayitno--harus dilihat sebagai sebuah bentuk pintu koreksi.
"Sebenarnya itu bagian dari koreksi untuk menata, entry point untuk membenahi bahwa reformasi birokrasi di kita belum berjalan optimal. Kalau ke arah pembangkangan saya kira belum," ucap Trubus.
Pemerintah harus tegas
Seperti Trubus, Zainal juga berpandangan pemerintah harus segera mengambil sikap untuk membalikkan keadaan.
Pemerintah, lanjut dia, juga harus membuktikan apakah memang ada pejabat yang memiliki kekayaan di luar batas kewajaran atau tidak.
"Kalaupun ada itu, ya ditindak! Itu yang harus dilakukan! Ditindak orang yang kaya secara tidak wajar, ditindak supaya mengembalikan kepercayaan publik," kata Zainal.
"Yang kelihatan di publik ya dicopot, diperiksa, saya kira itu bagus. Tetapi, perlu ditingkatkan, secara keseluruhan orang di luar batas kewajaran ya harus dikasih teguran, harus ada hukuman," sambungnya.
Sementara itu, Trubus menyebut pemerintah mesti memformulasikan sebuah kebijakan terkait sanksi bagi pejabat terkait Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Dengan demikian, diharapkan para pejabat dapat menjadi lebih patuh dalam melaporkan harta kekayaan yang dimilikinya.
"Menurut saya supaya mereka taat patuh ya harus dibuat sanksi yang berat, kalau pemerintah mau turun tangan, persoalannya kan kedua apa pemerintah mampu, apakah ada political will untuk itu," tuturnya.
Diketahui PPATK ternyata sudah mengendus transaksi tidak wajar Rafael dan mengirimkannya ke pihak terkait pada 2012 silam yakni ke KPK, Kejagung, dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. KPK pun kemudian disebut sudah menyurati Rafael pada 2020 silam.
[Gambas:Photo CNN]
Reaksi Kemenkeu
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mencopot dan menonaktifkan Rafael Alun dari jabatan dan tugasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN). Pencopotan yang dilakukan menyusul viralnya dugaan harta kekayaan jumbo Rafael itu dilakukan pekan lalu dengan dasar hukum peraturan disiplin PNS.
Sri Mulyani meyakini kasus Rafael tersebut justru menjadi momentum bagi seluruh jajaran di lingkungan Kemenkeu untuk saling mengingatkan dan kembali meraih kepercayaan publik dengan terus bekerja tekun dan jujur.
"Namun kekecewaan dan luka tidak membuat kami menyerah. Semangat kami tidak surut untuk menjalankan tugas negara, mengelola serta menjaga APBN dan Keuangan Negara," ujarnya dalam unggahan instagram resmi saat usai berkunjung ke Kantor Wilayah Pajak II di Solo, Senin (27/2).
Sebelumnya, dalam jumpa pers terkait Rafael, Sri Mulyani mengatakan Kemenkeu telah menghukum 281 pegawai di lingkungan instansinya terkait dugaan penyelewengan atau kecurangan (fraud) setelah menerima ratusan masyarakat melalui sistem pengawasan internal: Whistleblowing System (WISE).
Menurutnya, pengaduan ini berasal dari masyarakat mengenai keluhan, kecurangan, hingga pelanggaran hukum yang dilakukan pegawai Kemenkeu. Pengaduan tersebut pun selalu langsung ditindaklanjuti oleh Inspektorat Jenderal sampai selesai.
"Pengaduan masyarakat yang masuk di dalam whistleblowing system dipastikan untuk terus ditindaklanjuti, dilakukan verifikasi dan akan dilakukan investigasi yang kemudian dapat berujung pada penerapan hukuman disiplin," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat (24/2).
Ia mengatakan 281 pegawai yang dihukum tersebut berasal dari 3 tahun laporan sejak 2020 silam.
"Dengan kejadian saat ini, saya minta Inspektorat Jenderal untuk terus memperkuat whistleblowing system, dan masyarakat dapat dan bisa membantu kami untuk mengidentifikasi pelanggaran hukum, kecurangan atau potensi tindak kejahatan yang ada di lingkungan Kemenkeu yang dilakukan oleh jajaran Kemenkeu," kata Bendahara Negara itu.