Jejak Panjang Warga Tanah Merah, Sempat Digusur hingga Dapat IMB

CNN Indonesia
Sabtu, 11 Mar 2023 13:03 WIB
Kesaksian warga Tanah Merah soal kepemilikan lahan usai kebakaran besar yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara.
Foto udara permukiman penduduk yang hangus terbakar dampak kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Jalan Koramil, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta, Sabtu (4/3). (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kebakaran besar yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang, Koja, Jakarta Utara, pada Jumat (3/3) lalu membuat masalah kepemilikan lahan di kawasan Tanah Merah mencuat. Sebab, kebakaran itu menelan korban warga sekitar yang tinggal di dekat depo.

Adu klaim antara Pertamina dan warga sebagai pemilik lahan yang sah muncul ke permukaan. Sugiyono (60), warga yang tinggal di Tanah Merah sejak 1980-an mengklaim warga sudah beraktivitas di wilayah tersebut sejak 1960-an.

Namun, saat itu warga belum mendirikan rumah. Menurutnya, kala itu, warga bercocok tanam di wilayah itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menuturkan Pertamina masuk ke wilayah Tanah Merah sekitar tahun 1976. Setelah itu, penggusuran warga mulai terjadi.

Penggusuran medio 1992

Pada 1992, warga di kawasan Tanah Merah mengalami penggusuran oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sugiyono bercerita, saat itu warga diberikan uang ganti rugi sebesar Rp37 ribu per meter persegi (m2).

"Kurang lebih tahun 1991 ada pendataan bahwa tanah ini mau dipakai. Nah, di situ ada ganti rugi yang dinyatakan dari Pemda itu Rp37 ribu/meter persegi bangunannya, tanahnya enggak," kata Sugiyono ketika ditemui CNNIndonesia.com, Rabu (8/3).

Namun, tidak semua warga di sana mau direlokasi. Beberapa memilih bertahan dengan tenda atau tempat tinggal ala kadarnya dan tidak mengambil uang ganti rugi.

Sugiyono menuturkan, setidaknya ada 39 KK dari Rawa Badak Selatan yang memilih bertahan.

Berbekal surat segel sebagai legalitas lahan, warga tergusur mengambil langkah hukum dengan menggugat Pertamina dan Pemprov DKI Jakarta ke pengadilan negeri.

"Surat segel, pembagian per blok. Untuk pengajuan ke pengadilan itu kan kita pakai itu," kata dia.

Sebanyak 1.132 warga Tanah Merah mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dengan didampingi pengacara mereka, HM Dault, yang merupakan ayah dari mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Adhyaksa Dault.

Pengadilan berjalan kurang lebih 1,5 tahun. Pada putusannya, majelis hakim PN Jakpus memenangkan warga dengan menyatakan Tanah Merah merupakan tanah negara.

Pertamina sebagai tergugat dijatuhkan denda imateriel sebesar Rp5 juta per KK dan kerugian materiel sebesar Rp37 ribu/m2.

"Amar putusannya tanah dinyatakan tanah negara warga dikembalikan semula ke lokasi denda imateriel Rp5 juta per rumah, materielnya yang Rp37/m2," ujarnya.

Proses hukum belum berhenti. Pertamina mengajukan banding ke tingkat pengadilan tinggi. Namun, perusahaan pelat merah itu tetap dinyatakan kalah.

Namun, menurut pengakuan warga terdapat kejanggalan dalam prosesnya. Sebab, jumlah penggugat berkurang hanya menjadi sebanyak 132 dari yang sebelumnya 1.132 orang.

Akhirnya proses hukum ini pun berhenti di Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tetap memutuskan warga yang memenangkan perkara tersebut.

"Di MA tetap sama memutusukan dengan putusan di pengadilan tinggi, cuma tetap menetapkan jumlah penggugatnya cuma 132," ucap Sugiyono.

Pasca putusan MA itu, warga pun berbondong-bondong kembali menempati wilayah Tanah Merah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wali Kota Jakarta Utara kala itu, Awik Suprawito, yang menyatakan warga boleh menempati lagi wilayah Tanah Merah.

"Setelah dibilangin Pak Dault, tolong kuasai fisik karena putusan itu kan dikembalikan semula, jadi mulai itulah setelah putusan MA. Itu ada instruksi dari wali kota, cuma memang secara lisan, untuk bangun kembali diperbolehkan membangun kembali," kata dia.

Memperjuangkan akses kesehatan

Memasuki era 2000-an, warga di sana resah dengan kondisi hidup mereka. Warga susah mengakses layanan kesehatan, kependudukan, hingga fasilitas umum.

Melihat kondisi yang memprihatinkan itu, Purwanto (33) tergerak untuk memulai gerakan advokasi memperjuangkan pemenuhan hak warga. Ia bersama beberapa warga Tanah Merah mendirikan Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB). Kini, ia menjabat sebagai sekretaris.

Advokasi layanan kesehatan dimulai pada 2005. Menurut Purwanto saat itu warga sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Banyak warga yang ditolak masuk ke rumah sakit lantaran mereka tidak memiliki identitas yang sesuai dengan domisili.

"Saya mulai resah 2005. Melihat kondisi orang ke RS tidak bisa, ditolak karena identitasnya banyak yang di luar DKI. Kita saat itu advokasi soal kesehatan karena yang paling urgent saat itu adalah kesehatan, karena berhubungan dengan sisi kemanusiaan," kata dia.

Perjuangan itu pun membuahkan hasil. Pada 2009-2010, warga di Tanah Merah mendapatkan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Pada tahap pertama sebanyak 16.500 jiwa. Kemudian, pada tahap kedua sebanyak 6.300 jiwa.

"Bukan berbentuk kartu, tapi SK," ujar dia.

Baca selengkapnya di halaman berikutnya...

Minta KTP ke Jokowi dan IMB ke Anies

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER