Jakarta, CNN Indonesia --
Kebakaran besar yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang, Koja, Jakarta Utara, pada Jumat (3/3) lalu membuat masalah kepemilikan lahan di kawasan Tanah Merah mencuat. Sebab, kebakaran itu menelan korban warga sekitar yang tinggal di dekat depo.
Adu klaim antara Pertamina dan warga sebagai pemilik lahan yang sah muncul ke permukaan. Sugiyono (60), warga yang tinggal di Tanah Merah sejak 1980-an mengklaim warga sudah beraktivitas di wilayah tersebut sejak 1960-an.
Namun, saat itu warga belum mendirikan rumah. Menurutnya, kala itu, warga bercocok tanam di wilayah itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan Pertamina masuk ke wilayah Tanah Merah sekitar tahun 1976. Setelah itu, penggusuran warga mulai terjadi.
Penggusuran medio 1992
Pada 1992, warga di kawasan Tanah Merah mengalami penggusuran oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sugiyono bercerita, saat itu warga diberikan uang ganti rugi sebesar Rp37 ribu per meter persegi (m2).
"Kurang lebih tahun 1991 ada pendataan bahwa tanah ini mau dipakai. Nah, di situ ada ganti rugi yang dinyatakan dari Pemda itu Rp37 ribu/meter persegi bangunannya, tanahnya enggak," kata Sugiyono ketika ditemui CNNIndonesia.com, Rabu (8/3).
Namun, tidak semua warga di sana mau direlokasi. Beberapa memilih bertahan dengan tenda atau tempat tinggal ala kadarnya dan tidak mengambil uang ganti rugi.
Sugiyono menuturkan, setidaknya ada 39 KK dari Rawa Badak Selatan yang memilih bertahan.
Berbekal surat segel sebagai legalitas lahan, warga tergusur mengambil langkah hukum dengan menggugat Pertamina dan Pemprov DKI Jakarta ke pengadilan negeri.
"Surat segel, pembagian per blok. Untuk pengajuan ke pengadilan itu kan kita pakai itu," kata dia.
Sebanyak 1.132 warga Tanah Merah mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dengan didampingi pengacara mereka, HM Dault, yang merupakan ayah dari mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Adhyaksa Dault.
Pengadilan berjalan kurang lebih 1,5 tahun. Pada putusannya, majelis hakim PN Jakpus memenangkan warga dengan menyatakan Tanah Merah merupakan tanah negara.
Pertamina sebagai tergugat dijatuhkan denda imateriel sebesar Rp5 juta per KK dan kerugian materiel sebesar Rp37 ribu/m2.
"Amar putusannya tanah dinyatakan tanah negara warga dikembalikan semula ke lokasi denda imateriel Rp5 juta per rumah, materielnya yang Rp37/m2," ujarnya.
Proses hukum belum berhenti. Pertamina mengajukan banding ke tingkat pengadilan tinggi. Namun, perusahaan pelat merah itu tetap dinyatakan kalah.
Namun, menurut pengakuan warga terdapat kejanggalan dalam prosesnya. Sebab, jumlah penggugat berkurang hanya menjadi sebanyak 132 dari yang sebelumnya 1.132 orang.
Akhirnya proses hukum ini pun berhenti di Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tetap memutuskan warga yang memenangkan perkara tersebut.
"Di MA tetap sama memutusukan dengan putusan di pengadilan tinggi, cuma tetap menetapkan jumlah penggugatnya cuma 132," ucap Sugiyono.
Pasca putusan MA itu, warga pun berbondong-bondong kembali menempati wilayah Tanah Merah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wali Kota Jakarta Utara kala itu, Awik Suprawito, yang menyatakan warga boleh menempati lagi wilayah Tanah Merah.
"Setelah dibilangin Pak Dault, tolong kuasai fisik karena putusan itu kan dikembalikan semula, jadi mulai itulah setelah putusan MA. Itu ada instruksi dari wali kota, cuma memang secara lisan, untuk bangun kembali diperbolehkan membangun kembali," kata dia.
Memperjuangkan akses kesehatan
Memasuki era 2000-an, warga di sana resah dengan kondisi hidup mereka. Warga susah mengakses layanan kesehatan, kependudukan, hingga fasilitas umum.
Melihat kondisi yang memprihatinkan itu, Purwanto (33) tergerak untuk memulai gerakan advokasi memperjuangkan pemenuhan hak warga. Ia bersama beberapa warga Tanah Merah mendirikan Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB). Kini, ia menjabat sebagai sekretaris.
Advokasi layanan kesehatan dimulai pada 2005. Menurut Purwanto saat itu warga sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Banyak warga yang ditolak masuk ke rumah sakit lantaran mereka tidak memiliki identitas yang sesuai dengan domisili.
"Saya mulai resah 2005. Melihat kondisi orang ke RS tidak bisa, ditolak karena identitasnya banyak yang di luar DKI. Kita saat itu advokasi soal kesehatan karena yang paling urgent saat itu adalah kesehatan, karena berhubungan dengan sisi kemanusiaan," kata dia.
Perjuangan itu pun membuahkan hasil. Pada 2009-2010, warga di Tanah Merah mendapatkan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Pada tahap pertama sebanyak 16.500 jiwa. Kemudian, pada tahap kedua sebanyak 6.300 jiwa.
"Bukan berbentuk kartu, tapi SK," ujar dia.
Baca selengkapnya di halaman berikutnya...
Setelah mendapatkan akses kesehatan, warga Tanah Merah melanjutkan perjuangan mendapatkan pengakuan kependudukan berupa KTP, KK, serta akta keluarga sesuai domisili. Purwanto menuturkan, saat itu banyak warga yang menganggur karena permasalahan identitas. Akibatnya, angka kriminalitas pun tinggi.
"Dekat 2011 karena kita anggap selesai masalah kesehatan, muncul masalah baru tingkat kriminal tinggi di Tanah Merah, karena faktornya banyak pengangguran. Gimana orang mau kerja kalau KTP-nya tidak di area sini, pengangguran tinggi," ucap Purwanto.
Wilayah Tanah Merah kala itu juga tidak bisa mengeluarkan surat kependudukan karena tidak memiliki RT dan RW. Pada 2012, kata Purwanto, warga berunjuk rasa dengan menginap di Kementerian Dalam Negeri selama 21 hari menuntut KTP. Namun, perjuangan itu belum membuahkan hasil.
"Akhirnya 2010 kita advokasi, perjuangin identitas akhirnya sampai 2012 kita menginap di depan Kemendagri setelah proses panjang," katanya.
Kemudian, di momen Pilkada DKI Jakarta 20212, FKTMB meneken kontrak politik dengan Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu maju sebagai calon gubernur. Mereka mendukung Jokowi dengan perjanjian akan diberikan fasilitas kependudukan.
"Akhirnya, secara politik kita perjuangin. Saat itu Pilkada 2012 kita dukung Jokowi dengan kontrak politik kita juga harus diberikan identitas sesuai domisili," katanya.
Setelah terpilih, Jokowi pun menepati janji. Pada awal 2013, ia meresmikan RT/RW Tanah Merah dan selama tiga tahun penerbitan KTP warga pun berjalan dalam beberapa tahap.
"(Tanggal) 13 Januari 2013, Jokowi meresmikan RT/RW Tanah Merah, sehingga proses berjalan. Secara administratif berjalan hampir tiga tahun karena proses administrasi puluhan ribu orang kan enggak sekaligus bisa, ada beberapa tahap," ujar Purwanto.
Dapat IMB dari Anies
Pemberian KTP oleh Jokowi itu tidak dibarengi dengan pemberian sertfikat atas tanah. Masalah pun belum sepenuhnya selesai.
Absennya sertifikat tanah membuat warga Tanah Merah kesulitan mendapatkan akses air bersih ataupun perbaikan jalan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga terpaksa harus membeli.
Mendekati Pilkada DKI Jakarta 2017, warga menyatakan dukungan kepada Anies Baswedan. Menurut Purwanto, saat itu Anies belum masuk radar calon Gubernur DKI Jakarta. Namun, mereka mendorongnya.
Sejumlah warga Tanah Merah dan Kampung Guci Baru sempat datang ke rumah Anies dan meminta maju sebagai gubernur. Sekitar 2,5 bulan berselang, Anies menyambangi Tanah Merah.
Ia mengitari wilayah itu ditemani oleh warga. Pada saat itu juga, Anies menandatangani kontrak politiknya. Salah satu poinnya, memberikan legalitas kepada warga di kawasan tersebut.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Anies mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) kawasan di wilayah Tanah Merah.
Melalui penerbitan IMB itu, masyarakat jadi lebih mudah mendapatkan akses fasilitas umum, seperti drainase, air bersih, dan perbaikan jalan.
Ketua FKTMB Muhammad Huda mengatakan dalam mengurus IMB, persyaratan yang dimintaka berupa data kependudukan seperti KTP, surat pengantar RT/RW, KK, dan nomor induk bangunan (NIB).
Ia menyebut NIB itu dikeluarkan bertepatan dengan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dicanangkan Presiden Jokowi pada 2018.
"Seluruh Tanah Merah keluar NIB dan itu menegaskan tidak ada aset Pertamina di situ," kata Huda.
Tanah Merah kini
Purwanto menuturkan saat ini ada sekitar 20 hingga 25 ribu KK yang menempati wilayah Tanah Merah. Wilayah ini terdiri dari enam RW yang memiliki IMB kawasan.
Keenam RW itu tersebar di tiga kelurahan, empat RW di Rawa Badak Selatan, satu RW di Tugu Selatan, dan satu lagi di Kelapa Gading Barat.
"Hampir 20-25 ribu KK di enam RW," katanya.
Lurah Rawa Badak Selatan Suhaena pun menyebut terdapat empat RW yang memiliki IMB kawasan di wilayahnya, yakni RW 08, 09, 10, dan 11.
Dari empat RW tersebut, ia memperkirakan ada sekitar 36 RT yang memiliki IMB sementara.
Lurah Tugu Selatan Sukarmin menuturkan terdapat satu RW, yakni RW 07 di wilayahnya yang memiliki IMB kawasan yang terdiri 22 RT.
"Namanya IMB kawasan, kalau di Tugu Selatan kan ada satu RW, 22 RT," kata dia.
Sedangkan satu lagi merupakan RW 22 yang terletak di wilayah administrasi Kelurahan Kelapa Gading Barat.
Usai kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Badan Pertanahan Jakarta Utara pun berupaya mengidentifikasi tanah yang terdampak kebakaran. Hingga kini, proses itu masih berjalan.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan pesawat drone/UAV untuk dianalisis atas peta pendaftaran di kantor pertanahan Jakut.
"Kantor Pertanahan masih melakukan identifikasi dilakukan analisis dengan cara meng-overlay-kannya pada peta pendaftaran Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara," ujar Humas Kantah Kota Jakarta Utara Denis dalam keterangannya, Rabu (8/3).
CNNIndonesia.com telah mencoba menghubungi Kepala Dinas PTSP DKI Jakarta Benni Agus Chandra untuk mengonfirmasi total lahan yang memiliki IMB kawasan. Namun, ia tak merespons.