
Vonis Ringan-Bebas Terdakwa Kanjuruhan dan Kecaman Bertubi-tubi Publik

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis ringan hingga bebas terhadap lima terdakwa di Tragedi Stadion Kanjuruhan yang telah menewaskan 135 orang.
Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menjatuhkan vonis bebas terhadap dua anggota Polres Malang dalam perkara itu pada Kamis (16/3).
Kedua anggota polisi itu yakni mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.
Vonis bebas ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang ingin Wahyu dan Bambang divonis dengan pidana tiga tahun penjara.
Dalam pertimbangannya, Abu berpandangan gas air mata yang ditembakkan para personel Samapta Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan. Akan tetapi, kata dia, gas air mata itu kemudian terdorong angin ke arah selatan menuju ke tengah lapangan.
Setelahnya, asap tersebut mengarah ke pinggir lapangan. Namun, sebelum sampai ke tribun, asap itu tertiup angin menuju atas.
"Dan ketika asap sampai di pinggir lapangan sudah tertiup angin ke atas dan tidak pernah sampai ke tribun selatan," ujarnya dalam pembacaan amar putusan.
Sementara itu dalam perkara Wahyu, majelis hakim berkesimpulan tidak ada hubungan sebab akibat atau kausalitas dengan timbulnya korban atas apa yang didakwakan jaksa. Hakim menilai Wahyu tidak pernah memerintahkan penembakan gas air mata.
Selain vonis bebas keduanya, Abu bersama anggota Majelis Hakim yang lain juga terlebih dahulu memberikan vonis ringan terhadap tiga terdakwa lainnya.
Mereka-mereka yang divonis ringan ialah Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan dengan pidana 1,5 tahun penjara dari tuntutan jaksa selama 3 tahun penjara.
Selain itu Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dan Security Officer saat pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno yang masing-masing hanya divonis 1,5 tahun dan 1 tahun penjara.
Padahal dalam tuntutannya jaksa telah meminta majelis hakim untuk menjatuhi hukuman pidana selama 6 tahun penjara terhadap keduanya.
Sementara Direktur Utama PT LIB Akhmad Hadian Lukita belum diseret ke pengadilan hingga saat ini. Kepolisian masih melengkapi berkas perkara untuk selanjutnya dikirim lagi ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
ramai-ramai Kecam vonis 'vesat' PN Surabaya
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengkritik keras vonis ringan hingga bebas para terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan Malang yang mengakibatkan ratusan orang meninggal.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyoroti vonis bebas dua terdakwa yang merupakan anggota kepolisian. Menurut dia, proses penegakan hukum telah gagal memberikan keadilan bagi korban.
"Pihak berwenang sekali lagi gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan aparat meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat," ujar Usman kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/3).
Usman tetap mendesak pemerintah untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, termasuk mereka yang berada di tataran komando guna memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai impunitas.
Lihat Juga : |
Senada, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan KontraS juga turut mengecam keras vonis lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan. Mereka menuntut agar majelis hakim yang mengadili perkara tersebut diperiksa.
"Kami mendesak Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim yang mengadili perkara Tragedi Kanjuruhan atas dugaan pelanggaran kode etik," ucap Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS.
Andi mengaku pihaknya sejak awal telah mencurigai proses hukum dijalankan dengan tidak sungguh-sungguh guna mengungkap kasus. Koalisi, lanjut dia, menduga proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) dan melindungi pelaku.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri memandang putusan majelis hakim terhadap para terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan mencederai rasa keadilan masyarakat terutama korban dan keluarganya. Pasalnya, kasus ini mengakibatkan 135 orang meninggal, 26 orang luka berat dan 596 orang luka ringan.
"Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum di Indonesia masih belum mampu memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban," kata Gufron.