Persis menisbatkan diri bukan organisasi politik, dalam artian formalistik. Secara formal, Persis adalah organisasi sosial-keagamaan. Walaupun demikian, bukan berarti Persis mengacuhkan sama sekali masalah politik dalam sejarah pendiriannya.
Keterlibatan Persis dalam politik nasional diwarnai oleh sikap para pemimpin dan tokoh-tokohnya. Dalam kancah politik nasional, kader-kader Persis beberapa kali ikut berkecimpung.
Dadan Wildan Anas dalam bukunya 'Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam' (2015) menjelaskan Persis tercatat sebagai anggota istimewa Partai Masyumi bersama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama pada tahun 1948.
Para anggota Persis kala itu secara pribadi dianjurkan memasuki partai Masyumi. Tokohnya yang terkenal seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshari terpilih sebagai pimpinan Masyumi di tingkat Pusat. Saat Masyumi berkesempatan masuk dalam pusaran kekuasaan nasional, M. Natsir bahkan menjabat sebagai Perdana Menteri RI.
Persis kembali bersifat keagamaan dengan aksentuasi pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Shiddieq Amien. Shiddieq lebih menitikberatkan pada kemajuan pesantren di lingkungan Persis. Persis masih menjaga jarak dengan kontestasi politik nasional sampai saat ini.
Persis dalam perjalanan sejarah Indonesia juga mengambil sikap untuk menolak total komunisme di Indonesia. Dadan Wildan Anas menjelaskan Persis mengeluarkan Manifesto Politik pada tahun 1957 lalu.
Manifesto politik Persis itu intinya mengatakan teori dan praktek komunis bukan saja bertentangan dengan semua agama, tetapi mengandung permusuhan dan pertentangan dengan akidah yang diajarkan oleh semua agama. Manifesto ini ditandatangani oleh M Isa Anshary sebagai Ketua Umum dan E Abdurrahman sebagai Sekretaris Umum.
Manifesto tersebut merupakan penolakan Persis terhadap konsepsi Sukarno yang ingin memasukkan komunis untuk ikut memegang kendali pemerintahan di Indonesia.
"Mengajak kepada segenap ulama, mujahidin Islam Indonesia agar lebih merapatkan barisan, melakukan jihad, tantangan dan perlawanan total dan frontal terhadap ideologi komunisme, dengan cara yang teratur dan tersusun," bunyi salah satu poin Manifesto Politik Persis Maret 1957.
Tak hanya menolak komunisme, baru-baru ini Persis menunjukkan pemikirannya menolak Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Bahkan, mereka mengajukan gugatan uji materi aturan ini ke Mahkamah Konstitusi pada Juli 2017 lalu.
Wakil Ketua Persis Jeje Zaenudin saat itu mengatakan permohonan uji materi ini tak semata-mata karena organisasinya mendukung ormas maupun kelompok lain yang anti Pancasila, melainkan bentuk perlawanan terhadap sikap sewenang-wenang pemerintah.
Jeje khawatir keberadaan Perppu Ormas akan mengancam eksistensi organisasi yang dipimpinnya. Padahal Persis termasuk salah satu ormas tertua dan berbadan hukum yang telah berdiri sejak tahun 1923.
"Dari dulu Persis konsisten menjaga konstitusi NKRI. Tapi Perppu ini membahayakan konstitusi," kata Jeje kala itu.
Saat ini Persis memiliki basis masa yang kuat di kawasan Jawa Barat karena memang Persis berdiri di daerah ini. Meski demikian, anggota Persis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Persis juga memiliki badan otonom antara lain, Persistri (Persatuan Islam Istri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Hima Persis (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam), Himi Persis (Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam), dan Ikatan Santri dan Pelajar Persatuan Islam. Persis saat ini dipimpin oleh Jeje Zaenudin untuk masa bakti 2022-2027.
(rzr/isn)