Kisah Habib Ali Kwitang Perintis Taklim di Tanah Betawi

CNN Indonesia
Senin, 27 Mar 2023 10:00 WIB
Makam Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi kerap didatangi peziarah. Makamnya berada di dalam Masjid Al Riyadh di Jalan Kembang VI, Kwitang, Jakarta Pusat.
Tempat persemayaman Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau akrab disapa Habib Kwitang. (CNN Indonesia/Lina Itafiana)
Jakarta, CNN Indonesia --

Nyaring suara khotbah Salat Jumat terdengar dari pengeras suara Masjid Al Riyadh di Jalan Kembang VI, Nomor 4A RT 01 RW 02, Kwitang, Jakarta Pusat. Ratusan jemaah khusyuk mendengarkan lantunan kalimat dakwah dari sang imam.

Usai jemaah melaksanakan Salat Jumat, mereka terlihat bergegas ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri masjid. Mereka lantas mengambil buku Yasin yang tertumpuk rapi di tempatnya.

Di ruangan bercat serba putih itu, terdapat empat makam yang berhias material marmer. Tak seperti pada makam umumnya, nama para mendiang di nisan makam tersebut justru tersemat di bagian belakang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Makam tersebut merupakan tempat persemayaman Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau akrab disapa Habib Kwitang. Putra Habib Ali, Habib Muhammad bin Ali Al Habsyi beserta menantunya Syarifah Ni'mah serta sang cucu Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Al Habsyi turut dimakamkan di lokasi itu.

Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Al Riyadh Kwitang, Nurdin Abdurahman menuturkan Habib Ali adalah putra dari pasangan Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi dengan Nyai Salmah. Ayahanda Habib Ali berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Sementara sang ibunda merupakan orang asli Indonesia yang juga putri dari seorang kiai di Jatinegara.

Saat usianya baru menginjak 11 tahun, Habib Ali harus merasakan duka yang mendalam lantaran sang ayah berpulang. Ayahnya sempat berwasiat agar Habib Ali menimba ilmu agama di Yaman Selatan.

Sebagaimana wasiat sang ayah, Habib Ali pun berangkat ke Yaman Selatan bermodalkan satu gelang emas peninggalan ayahnya.

"Pada umur 11 tahun Habin Ali belajar ke Hadramaut, Yaman Selatan, wasiat dari ayahnya Habib Abdurahman kepada istrinya. Dengan ongkos satu-satunya peninggalan ayahnya yaitu gelang emas dijual dijadikan ongkos untuk belajar," kata Nurdin saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (18/3).

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, kata dia, Habib Ali bekerja sebagai penggembala kambing.

Nurdin mengatakan Habib Ali menuntut ilmu di Yaman Selatan selama kurang lebih empat hingga enam tahun. Kemudian Habib Ali melanjutkan pendidikannya di Makkah. Beliau pulang ke Tanah Air pada 1898.

Setibanya di Indonesia, Habib Ali mempersunting Syarifah Aisyah. Beliau berprofesi sebagai pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Meski bekerja pada pagi dan siang hari, Habib Ali masih menyempatkan diri untuk mengajar taklim di Masjid Al Makmur Tanah Abang.

"Lama kelamaan muridnya makin banyak kemudian Habib Ali membawa taklimnya itu ke Masjid Kwitang ini yang mana didirikan pada tahun 1911," ujar Nurdin.

Masjid tersebut mulanya hanya sebuah musala berukuran kecil dan terbuat dari panggung kayu, sehingga Habib Ali beserta beberapa tokoh masyarakat Kwitang berinisiatif merenovasi masjid itu dan menamainya Masjid Al Makmur.

"Masjid itu dinamakan Masjid Al Makmur sama dengan Masjid Tanah Abang tempat Habib Ali mengajar itu," kata Nurdin.

Nurdin mengatakan masjid itu kembali direnovasi pada 1938. Kemudian saat dilakukan renovasi pada 1962 terdapat campur tangan dari Soekarno yang kala itu menjabat sebagai presiden.

"Bung Karno berjanji 'Habib kalau nanti masjid sudah rampung, saya yang resmikan. Saya akan namakan masjid itu adalah Khuwatul Ummah, kekuatan umat, ya'," ucapnya.

Namun seiring perkembangan zaman, keadaan politik di Indonesia berubah. Bung Karno tak bisa meresmikan masjid, sehingga diwakilkan oleh salah satu menterinya. Nama Khuwatul Ummah yang diberikan Bung Karno pun dijadikan sebagai nama masjid tersebut.

Usai Soeharto menjadi presiden menggantikan Bung Karno, nama Khuwatul Ummah itu pun tak lagi digunakan. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Habib Ali minta advice pada gurunya yang ada di Yaman Selatan itu, namain apa masjid Kwitang ini. Maka dikasih nama, Al-Riyadh," ujar Nurdin.

"Nama Al-Riyadh ini dibikin sekitar tahun 1967. Kalau seandainya tidak ada perubahan politik, Bung Karno tetap jadi presiden, mungkin namanya masih Khuwatul Ummah. Nama itu pernah dipakai beberapa tahun," sambungnya.

Nurdin menuturkan Habib Ali juga membuka madrasah modern Lukman Nur Falah di Tanah Abang yang saat itu menjadi satu-satunya di Jakarta.

Kemudian, Habib Ali membuka taklim di kediamannya yang sekarang dikenal dengan nama Islamic Center Indonesia Kwitang.

"Itu awalnya adalah rumah beliau kemudian beliau korbankan rumahnya menjadi tempat belajar yang mana diadakan taklim itu setiap hari Minggu pagi," tutur Nurdin.

Majelis taklim ini disebut majelis taklim pertama yang didirikan di Tanah Betawi dan dari sinilah cikal bakal berdirinya majelis-majelis taklim di Nusantara.

Menurutnya, majelis taklim yang dibangun pada 1938 itu hingga kini masih banyak dikunjungi masyarakat baik dari Jakarta maupun luar Jakarta.

Pria yang telah bertugas sebagai ketua masjid selama 10 tahun itu menyebut Habib Ali meninggal dalam usia 98 yakni pada 1968 silam.

"Beliau meninggal malam Senin dimakamkan sebelah kiri dari pada masjid beliau yang dinamakan sekarang Masjid Al Riyadh," jelasnya.

Habib Ali dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER