Jakarta, CNN Indonesia --
Nyaring suara khotbah Salat Jumat terdengar dari pengeras suara Masjid Al Riyadh di Jalan Kembang VI, Nomor 4A RT 01 RW 02, Kwitang, Jakarta Pusat. Ratusan jemaah khusyuk mendengarkan lantunan kalimat dakwah dari sang imam.
Usai jemaah melaksanakan Salat Jumat, mereka terlihat bergegas ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri masjid. Mereka lantas mengambil buku Yasin yang tertumpuk rapi di tempatnya.
Di ruangan bercat serba putih itu, terdapat empat makam yang berhias material marmer. Tak seperti pada makam umumnya, nama para mendiang di nisan makam tersebut justru tersemat di bagian belakang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Makam tersebut merupakan tempat persemayaman Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau akrab disapa Habib Kwitang. Putra Habib Ali, Habib Muhammad bin Ali Al Habsyi beserta menantunya Syarifah Ni'mah serta sang cucu Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Ali Al Habsyi turut dimakamkan di lokasi itu.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Al Riyadh Kwitang, Nurdin Abdurahman menuturkan Habib Ali adalah putra dari pasangan Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi dengan Nyai Salmah. Ayahanda Habib Ali berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Sementara sang ibunda merupakan orang asli Indonesia yang juga putri dari seorang kiai di Jatinegara.
Saat usianya baru menginjak 11 tahun, Habib Ali harus merasakan duka yang mendalam lantaran sang ayah berpulang. Ayahnya sempat berwasiat agar Habib Ali menimba ilmu agama di Yaman Selatan.
Sebagaimana wasiat sang ayah, Habib Ali pun berangkat ke Yaman Selatan bermodalkan satu gelang emas peninggalan ayahnya.
"Pada umur 11 tahun Habin Ali belajar ke Hadramaut, Yaman Selatan, wasiat dari ayahnya Habib Abdurahman kepada istrinya. Dengan ongkos satu-satunya peninggalan ayahnya yaitu gelang emas dijual dijadikan ongkos untuk belajar," kata Nurdin saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (18/3).
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, kata dia, Habib Ali bekerja sebagai penggembala kambing.
Nurdin mengatakan Habib Ali menuntut ilmu di Yaman Selatan selama kurang lebih empat hingga enam tahun. Kemudian Habib Ali melanjutkan pendidikannya di Makkah. Beliau pulang ke Tanah Air pada 1898.
Setibanya di Indonesia, Habib Ali mempersunting Syarifah Aisyah. Beliau berprofesi sebagai pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Meski bekerja pada pagi dan siang hari, Habib Ali masih menyempatkan diri untuk mengajar taklim di Masjid Al Makmur Tanah Abang.
"Lama kelamaan muridnya makin banyak kemudian Habib Ali membawa taklimnya itu ke Masjid Kwitang ini yang mana didirikan pada tahun 1911," ujar Nurdin.
Masjid tersebut mulanya hanya sebuah musala berukuran kecil dan terbuat dari panggung kayu, sehingga Habib Ali beserta beberapa tokoh masyarakat Kwitang berinisiatif merenovasi masjid itu dan menamainya Masjid Al Makmur.
"Masjid itu dinamakan Masjid Al Makmur sama dengan Masjid Tanah Abang tempat Habib Ali mengajar itu," kata Nurdin.
Nurdin mengatakan masjid itu kembali direnovasi pada 1938. Kemudian saat dilakukan renovasi pada 1962 terdapat campur tangan dari Soekarno yang kala itu menjabat sebagai presiden.
"Bung Karno berjanji 'Habib kalau nanti masjid sudah rampung, saya yang resmikan. Saya akan namakan masjid itu adalah Khuwatul Ummah, kekuatan umat, ya'," ucapnya.
Namun seiring perkembangan zaman, keadaan politik di Indonesia berubah. Bung Karno tak bisa meresmikan masjid, sehingga diwakilkan oleh salah satu menterinya. Nama Khuwatul Ummah yang diberikan Bung Karno pun dijadikan sebagai nama masjid tersebut.
Usai Soeharto menjadi presiden menggantikan Bung Karno, nama Khuwatul Ummah itu pun tak lagi digunakan. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Habib Ali minta advice pada gurunya yang ada di Yaman Selatan itu, namain apa masjid Kwitang ini. Maka dikasih nama, Al-Riyadh," ujar Nurdin.
"Nama Al-Riyadh ini dibikin sekitar tahun 1967. Kalau seandainya tidak ada perubahan politik, Bung Karno tetap jadi presiden, mungkin namanya masih Khuwatul Ummah. Nama itu pernah dipakai beberapa tahun," sambungnya.
Nurdin menuturkan Habib Ali juga membuka madrasah modern Lukman Nur Falah di Tanah Abang yang saat itu menjadi satu-satunya di Jakarta.
Kemudian, Habib Ali membuka taklim di kediamannya yang sekarang dikenal dengan nama Islamic Center Indonesia Kwitang.
"Itu awalnya adalah rumah beliau kemudian beliau korbankan rumahnya menjadi tempat belajar yang mana diadakan taklim itu setiap hari Minggu pagi," tutur Nurdin.
Majelis taklim ini disebut majelis taklim pertama yang didirikan di Tanah Betawi dan dari sinilah cikal bakal berdirinya majelis-majelis taklim di Nusantara.
Menurutnya, majelis taklim yang dibangun pada 1938 itu hingga kini masih banyak dikunjungi masyarakat baik dari Jakarta maupun luar Jakarta.
Pria yang telah bertugas sebagai ketua masjid selama 10 tahun itu menyebut Habib Ali meninggal dalam usia 98 yakni pada 1968 silam.
"Beliau meninggal malam Senin dimakamkan sebelah kiri dari pada masjid beliau yang dinamakan sekarang Masjid Al Riyadh," jelasnya.
Kabar meninggalnya Habib Ali disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) atas perintah dari Presiden Soeharto. Mendiang Habib Ali juga diizinkan disemayamkan disamping masjid yang telah dibangunnya.
"Karena saat itu juga tidak boleh lagi orang meninggal dikubur di pekarangan rumah masing-masing kan enggak boleh harus di pemakaman umum. Tapi khusus Habib Ali, Pak Harto memberikan izin dimakamkan di masjid," kata Nurdin.
Sejak Habib Ali meninggal, kata dia, banyak peziarah yang mengenang dan mendoakan dengan mendatangi makam Habib Ali. Para peziarah itu datang dari dalam hingga luar negeri.
"Saya sebagai pengurus masjid cukup lama juga tahu persis itu dari mana-mana dari belahan dunia. Dari Timur Tengah, Eropa, Australia," kata Nurdin.
"Kalau untuk Indonesia sih memang udah merupakan suatu kebutuhan yang memang berpaham berziarah. Artinya dari pulau Jawa ini hampir seluruh bagian Jawa," imbuhnya.
Ia mengatakan murid Habib Ali tersebar di berbagai negara, sehingga gaung nama Habib Ali terdengar hingga penjuru dunia.
"Kalau ditanya dari mana yang berziarah, saya ingin menyatakan mungkin setengah belahan dunia kenal beliau," ujarnya.
Para peziarah bahkan mencapai ribuan saat menjelang perayaan Maulid Nabi dan akhir bulan Rabiul Awal atau 25 Ramadan.
Nurdin menceritakan pengalamannya saat berusia sekitar delapan tahun. Sebagai orang asli Kwitang ia tahu betul ramainya para peziarah mendatangi Makam Habib Ali.
Bahkan, bus-bus yang membawa para peziarah harus parkir di depan rumahnya yang jaraknya cukup jauh dari lokasi Makam Habib Ali.
"Seluruh Kwitang dulu menjadi tempat parkir para peziarah yang dari luar kota. Sekarang dengan rapetnya rumah itu parkir biasanya di pinggir kali sana, Kali Ciliwung. Mereka taruh mobil di sana kemudian mereka jalan kaki ke sini," ujarnya.
Nurdin menegaskan bahwa para peziarah yang berdoa di makam tersebut tak meminta sesuatu kepada Habib Ali yang telah meninggal. Melainkan kepada Allah SWT.
"Jadi jangan sampai dituduh orang yang berziarah ke makam-makam wali itu minta kepada wali, tidak. Minta kepada Allah lah," katanya.
Oleh sebab itu, pada area depan makam tersemat maklumat bahwa Habib Ali masih mengharapkan doa dari orang-orang yang masih hidup, sehingga para peziarah dilarang membawa air, kemenyan, dan menyebarkan uang di makam.
"Artinya, tidak boleh dikultuskan," ucap Nurdin.
Sumur tua
Makam Habib Ali erat kaitannya dengan sumur tua yang berada di dekat makam. Para peziarah kerap mengambil air tersebut lantaran diyakini berkhasiat.
Menurut Nurdin, sumur itu digali untuk memenuhi kebutuhan wudu jamaah Masjid Ar Riyadh. Konon, Habib Ali meludahi sungai itu, sehingga meski musim kemarau, air sungai tak pernah kering.
"Itu yang suka diambil untuk berkah untuk semua orang," katanya.
Namun, keberadaan sumur itu dirahasiakan agar tidak menjadi perebutan para peziarah. Sumber air sumur itu hanya diketahui oleh segelintir orang.
Ia pun memberitahu CNNIndonesia.com sumber mata air dari sumur tersebut. Air sumur itu mengalir pada keran nomor dua yang berada di area depan masjid.
"Nah yang aslinya ini kadang kala suka kita rahasiakan, supaya tidak jadi perebutan orang. Adanya tuh di sana, di keran kedua di sana. Itu air langsung dari sumur beliau. Keran empat, kedua dari sebelah kiri itu dari sumur beliau," jelas Nurdin.
Nurdin mengatakan filosofis dari sumur yang tak pernah kering itu seperti layaknya ilmu yang dimiliki Habib Ali. Mengalir tak ada habisnya.
"Ya, kalau sumur itu sendiri latar belakangnya untuk memenuhi kebutuhan wudunya warga masjid. Bila dikaitkan karomahnya Habib Ali dengan sumur, oke. Tapi saya lebih fokus terhadap keilmuan Habib Ali sendiri," pungkasnya.
Mengutip jurnal berjudul 'Tradisi Ziarah Kubur: Studi Kasus Ziarah Makam Habib Ali Bin Abdurahman Al Habsyi, Kwitang, Jakarta Pusat Tahun 2014-2018' oleh Naufal Agil Wajdi menjelaskan kehidupan Habib Ali begitu dicintai oleh masyarakat Betawi dan berbagai etnis lainnya.
Habib Ali Kwitang adalah tokoh ulama yang disegani pada zamanya. Ia termasuk seorang tokoh pejuang Ulama Habaib bersama dengan Ulama Betawi membasmi kolonialisme di Jakarta. Tak hanya itu, Habib Ali juga membantu Presiden Soekarno dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Habib Ali mengikuti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan berkonstibusi besar dalam membantu masuknya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) ke Kota Jakarta. Hal itu lantaran Habib Ali memiliki hubungan dengan Kyai Haji Hasyim Azhari sebagai guru dan murid.
Ia menjembatani NU dengan mengutus murid-muridnya seperti Kyai Muhammad Naim, Kyai Abdurozak Ma'mum, Kyai Sibrah Malisi, dan Guru Mughni untuk mengurus NU di Batavia.
Habib Ali pun berjasa membawa maulidan di Indonesia. Ia menjadi salah satu ulama penggerak pembacaan maulid.
Habib Ali meminta agar dimakamkan di tempat di mana setiap sebelum masuk waktu Salat Subuh setelah Salat Tahajud, ia menimba air di sumur untuk keperluan berwudu orang-orang di Masjid Ar-Riyadh Kwitang.
Maka lokasi tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir Habib Ali. Ia tak ingin jauh dari tempat perjuangan berdakwa semasa hidupnya.
Adapun sebelum meninggal, Habib Ali berwasiat kepada putranya, Habib Muhammad seperti tidak diperbolehkan menaruh kotak amal di dalam area makam, jangan membakar kemenyan di dalam makam, dan untuk para peziarah tidak diperbolehkan niatnya meminta kepada ahli kubur selain meminta kepada Allah SWT.
Fenomena ziarah makam merupakan tradisi turun-temurun yang sudah berakar kuat di kalangan umat Islam Nusantara sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang khususnya para wali atau penyebar agama Islam di Tanah Nusantara.