Hujan deras yang mengguyur Jakarta pada Rabu (8/3) pagi membasahi bangunan tua yang berada di sela-sela permukiman padat penduduk tepatnya di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid 1 RT/RW 005/05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Seorang pria paruh baya tampak duduk termangu di bibir bangunan itu. Gapura dengan tinggi sekitar 3x2,5 meter bertuliskan 'Makam Keramat Angke' berdiri gagah di hadapannya.
Pria itu kemudian berjalan melewati gapura ditemani suara gemericik hujan dari atap bangunan tua menyambut kedatangan CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangunan tersebut merupakan makam keramat Pangeran Tubagus Angke. Lumut tua pada tembok nampak mencolok pada sisi depan bangunan. Minimnya penerangan, membuat tempat tersebut terasa kian mencekam.
Dari sela-sela tembok berlumut, terlihat tirai berwarna hijau dengan renda berwarna kuning berukuran besar meliuk-liuk tertiup angin. Dibalik tirai itu, terdapat empat pusara. Satu pusara berukuran besar ditutup rapat dengan tirai hijau kuning berukuran persegi panjang. Sementara tiga lainnya dibiarkan terbuka dengan nisan terbungkus kain putih dan kuning keemasan.
"Di dalam ada empat makam. Ratu Ayu Pembayun Fatimah istri dari Pangeran Tubagus Angke. Sebelahnya Pangeran Tubagus Angke, sebelahnya Sultan Hamid I dan Syekh Jafar Asnan alias Pangeran Idrus," kata Juru Kunci Makam Keramat Angke, Habib Muhammad Irfan, Rabu (8/3).
Warna hijau dan kuning pada tirai yang menutupi makam Tubagus Angke, kata Irfan, dipilih berdasarkan warna perjuangan dari para mendiang ratu. Menurutnya, warna kuning melambangkan keluwesan, sementara warna hijau melambangkan agama Islam.
"Kuning mereka bilang artinya cenderung lebih luwes, hijaunya itu keagamaannya. Jadi luwes karena agama," ucap Irfan.
Silsilah mencatat Irfan merupakan generasi ke-14 dari Pangeran Tubagus Angke. Mengurus Makam Keramat Angke sudah menjadi tradisi turun temurun di keluarganya.
"Turun temurun mengurus makam [Angke] dari anak pertama laki-laki," ujarnya.
Irfan mengatakan terdapat 15 pusara di Makam Keramat Angke. Sebanyak 11 dari jumlah tersebut merupakan makam para panglima Tubagus Angke. Adapun 11 makam itu berada di luar area makam Tubagus Angke beserta istri.
"Di sini orang elite semua, Panglima semua gelarnya. Ada Syekh Jalaludin Al Qurthubi, Raden Ajeng Pitaloka, Raden Wijaya Kusuma, Eyang Pupuk Hadinegoro, Umi Syarifah Aminah binti Pangeran Sayid Husain Al Absi," katanya.
Menurut Irfan, Tubagus Angke meninggal dalam usia 102 tahun yakni pada 1577 Masehi sejak zaman Portugis dan Belanda. Terhitung makam keramat Tubagus Angke kini sudah berusia 446 tahun.
Ia mengatakan Tubagus Angke merupakan seorang guru besar yang memiliki sifat sadis namun juga lembut. Sifat sadis itu muncul jika Tubagus Angke berhadapan dengan orang-orang Portugis dan Belanda. Sementara itu, Tubagus Angke begitu lembut terhadap para jemaahnya.
"Beliau dengan jemaahnya lembut tapi dengan musuhnya sadis. Portugis Belanda itu enggak ada ampun. Mati ya mati beneran. Mati harga mati. Tapi kalau udah duduk sama jemaahnya dia luwes," tutur Irfan.
Irfan pun menceritakan awal mula Tubagus Angke menyebarkan agama Islam. Kala itu, Tubagus Angke mendapat perintah dari Sunan Gunung Jati. Ia mengambil jalur timur laut dalam syiarnya yang meliputi wilayah Cirebon, Indramayu, Cikampek, Bekasi, Karawang, dan Cilincing.
"Tubagus Angke perintahnya bukan hanya memegang Adhipati, tapi beliau diperintah untuk syiar, mengajak agar islam ini kuat," katanya.
Dalam menyebarkan agama Islam, Tubagus Angke membawa pasukan yang kemudian ia tinggalkan di Indramayu. Dia melanjutkan syiarnya bersama para panglima yang kini makamnya berada di sekitar makam Tubagus Angke.
"Setiap wilayah dia syiar, lama di sini sebulan dua bulan. Syiar tuh udah makin dapat. Dari Indramayu dia udah bermukim, ngajak syiar. Setelah Indramayu udah banyak, diajak. Pindah lagi, syiar lagi nyebarin lagi," ujar Irfan.
Usai tiba di Jakarta, Tubagus Angke kemudian diangkat sebagai Panglima Banten oleh Sultan Maulana Hasanudin. Penunjukan itu lantaran Tubagus Angke merupakan orang kepercayaan dari ayahanda Sultan Maulana Hasanudin, Sunan Gunung Jati.
Tak hanya itu, Tubagus Angke juga dinikahkan dengan putri Sultan Maulana Hasanudin, Ratu Ayu Pembayun Fatimah.
"Jadi beliau punya dua istri. Yang satu Ratu Ayu Pembayun putri dari Fatahillah, yang kedua Ratu Ayu Pembayun Fatimah putri dari Sultan Maulana Hasanudin Banten," jelas Irfan.
Setelah Tubagus Angke mempersunting Ratu Ayu Pembayun Fatimah, dia lantas memegang kekuasaan di wilayah Jayakarta dan menjadi panglima.
"Setelah Tubagus Angke mendapatkan gelar Panglima, Jayakarta inilah dikuasai sama beliau. Nah ini dibentuk sama beliau, Kampung Angke. Sekitar masa 1530," katanya.