Sementara itu, Surokim berpandangan sosok NU kultural ataupun struktural tak begitu penting untuk menentukan siapa yang cocok dijadikan sebagai cawapres. Sebab, kata dia, saat ini pemilih nahdliyin sudah tergolong dinamis.
"Ada NU kultural, ada NU struktural, faksi-faksi seperti itu menambah dinamika grassroot NU kian cair, tidak seperti pada pemilu sebelumnya," ujarnya.
Menurut Surokim, NU kultural maupun struktural tak bisa dipandang sebagai faktor tunggal. Sebab, kata dia, pengalaman di bidang pemerintah, latar belakang akademik dan hal lainnya juga menjadi faktor penentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(NU kultural atau struktural) enggak bisa (dijadikan patokan), saya kira faktor yang berpengaruh itu faktor omni, faktor gabungan, kian banyak kriteria yang menempel pada tokoh NU, dia akan semakin kompetitif," ucap Surokim.
Senada, Agung juga berpendapat sejumlah faktor yang diperhitungkan oleh partai politik dalam menentukan siapa kader NU yang akan digandeng sebagai cawapres. Dan ini tak hanya berkutat pada masalah NU kultural maupun struktural semata.
Agung menyebut faktor-faktor itu antara lain elektabilitas, aksestablibitas, hingga isi tas atau pembiayaan.
"Ini akan menjadi perdebatan di kalangan internal (partai politik) apakah sisi logistik lebih diutamakan atau soal elektabilitas atau soal aksestabiltas. Karena akhirnya variabel keempat yakni kapasitas menjai nomor empat," kata dia.
![]() Infografis - Deret Tokoh NU Potensial Jadi Cawapres |