Pada Pemilu 2019 lalu, jumlah pemilih di Jatim 2019 berjumlah 30,9 juta. Khusus Pemilu 2024 ini, KPU Provinsi Jawa Timur telah menetapkan rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk Pemilih 2024 sebanyak 31.570.088 warga.
Dari total jumlah ini, pemilih laki-laki sebanyak 15.594.407 dan pemilih perempuan sebanyak 15.975.681. Jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 120.548.
Melihat kondisi itu, Wasis mahfum bila para capres yang bertarung potensial memilih cawapres dari Jatim. Para capres itu, lanjutnya, berharap supaya cawapresnya dapat berkontribusi besar menggarap suara besar dari Jatim untuk mendapatkan kemenangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wasis juga mengatakan nama-nama tokoh dari Jatim yang selama ini masuk bursa cawapres mewakili dua kutub politik Indonesia kontemporer, yakni dari kalangan nasionalis dan religius.
Ia mencontohkan Khofifah, Cak Imin, Mahfud, Yenny, Muhadjir berlatar belakang santri yang notabene religius. Sedangkan Airlangga dan AHY berlatar nasionalis.
"Sepertinya demikian diharap bisa jadi vote getter di kawasan ini," kata dia.
![]() Insert-Provinsi-dengan-Pemilih-Terbanyak-2019 |
Pengamat politik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam mengatakan banyak tokoh Jatim yang masuk bursa cawapres menandakan kawasan Jatim sangat seksi.
Menurut Surokim, Jatim jelas sangat diperhitungkan sebagai sentrum politik Indonesia setelah Jakarta.
"Magnitude politik di Jatim itu terbesar kedua atmosfer politiknya setelah DKI. Karena, dari sisi pemilih terbesar kedua setelah Jabar. Jatim itu selalu jadi magnet karena banyak tokoh-tokoh yang beredar di tingkat nasional," kata Surokim kepada CNNIndonesia.com.
Surokim menjelaskan Jatim memiliki kekhasan dengan banyaknya pemilih berkarakter tradisionalis-ideologis Nahdlatul Ulama (NU).
Warga Nahdliyin, sebutan bagi warga NU di Jatim, kata dia, mencapai lebih dari 70 persen dari total populasi penduduk di Jatim. Karakter pemilih Nahdliyin ini, kata dia, dicirikan patuh terhadap perintah atau ucapan (Samikna Wa Atokna) dari para kiai dan ulama-ulama pesantren.
Karenanya, ia mengatakan sebagian besar tokoh yang masuk kandidat cawapres banyak memiliki latar belakang NU.
"Kalau bicara nahdliyin itu sentrumnya ada di Jatim, kiai khos juga banyak di Jatim. Satelit utama pesantrennya ada di Jatim. Memang pesantrennya tersebar di seluruh Indonesia tapi mereka [para pimpinan pesantrennya] mondoknya pernah di Jatim," kata dia.
Melihat kondisi itu, ia menganggap wajar bila para capres berbondong-bondong mencari kandidat cawapres yang memiliki latar belakang dari Jatim. Harapannya, cawapres ini nantinya bisa membantu mendulang banyak suara pemilih dari kawasan Jatim agar mendapatkan kemenangan.
"Jadi wajar kemudian banyak tokoh yang ingin menggaet ceruk suara sedemikian banyak itu," kata dia.
![]() |
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Bandung Kunto Adi Wibowo mafhum bila tokoh-tokoh dari Jatim banyak yang masuk bursa cawapres ketimbang tokoh dari Jawa Barat. Padahal, jumlah pemilih di Jawa Barat termasuk terbesar di Indonesia.
Belakangan ini praktis hanya nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang namanya masuk dalam bursa cawapres.
Kunto menyoroti hal ini bisa dijelaskan dari kultur dan perilaku politik warga Jabar. Dari sisi kultur, Kunto mengatakan selama ini sosok capres atau cawapres identik dengan suku tertentu yakni suku Jawa. Sementara Jawa Barat, kata dia, selama ini identik dengan suku Sunda.
"Jatim dan Jateng itu kan disebutnya orang Jawa, itu mewakili suku lebih besar. Di Jabar itu suku Sunda. Ini jadi penjelasan mengapa orang Jatim lebih banyak," kata Kunto.
Kunto juga mengatakan banyaknya elite-elite berasal dari Jawa Timur kini banyak yang bermain di tingkat pusat. Sementara tokoh dari Jabar minim menjadi elite di tingkat pusat.
"Kecuali Bu Khofifah, selainnya itu kan mainnya di tingkat elite pusat. Nah di Jabar dikit yang berada di tingkat elit pusat. Orang Sunda sangat jarang di tingkatan elite pusat," kata dia.
Sementara dari sisi perilaku pemilih, Kunto menilai warga Jabar cenderung heterogen dan cenderung kosmopolitan lantaran banyaknya kota-kota besar. Sehingga, ia menganggap perilaku pemilih Jabar tak bisa mutlak mendukung kandidat tertentu untuk satu suara.
"Sehingga agak susah Jabar itu satu suara. Pemenang pemilu Parlemen aja ganti-ganti sejak 1999 di Jabar, enggak ada yang tetap pemenangnya. Karena dinamis tadi," kata dia.
Lihat Juga : |